Musim hujan musim nikah, ada duka ada bahagia.. Bulan Januari Februari. Tiga undangan mampir ke rumah saya, acara pernikahan. Mempelai wanitanya teman saya, umur 20 tahun. Usia belum lulus kuliah. Kerjaan belum mapan. Karir belum meranjak. Apa yah yang jadi pertimbangan mereka?
Teman saya bilang, ini sudah jodoh. Jodoh untuk menikah di usia 20 tahun. Memang, nikah adalah pilihan, pilihan adalah masalah waktu. Setiap pilihan berarti disertai dengan kesiapan. Kesiapan untuk menghadapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Sah saja mereka berfikir begitu, tapi saya memiliki pandangan yang berbeda. Menikah tidak sekedar hidup bersama, punya anak, menjadi ibu, menyiapkan sarapan, pergi kepasar. That is not simple like that.
Perlu bekal untuk mengarunginya. Begitu kompleks. Kolaborasi komunikasi dari dua kepala yang berbeda, menyatukan jalan yang kadang bersebrangan, pengaturan kehidupan untuk anggota keluarga yang makin bertambah dengan kehadiran anak. Tanggungjawab yang mulai berat dengan kehidupan yang mulai serba mandiri. Kewajiban dengan pertumbuhan anak, pendidikan dan mengikuti semua kebutuhan hidup keluarga.
Usia 20 tahun, bekal apa yang sudah bisa dibawa?? Sekedar kesiapan tidak cukup. Sebenarnya hidup ini berjenjang. Saat nikah, ada usianya. Usia dengan segala kemapan: Kemapanan kedewasaan, pengetahuan dan kemapanan karier. Dengan kesiapan yang sempurna, akan mudah nantinya menjalani hidup dalam pernikahan. Level bungsu dari hidup sebelum kembali kepada sang pencipta.
Bagi saya, jalani hidup sesuai tingkatnya. Usia 20, saatnya kuliah, cari pengalaman kemudia kerja, memiliki karier, tabungan lebih dari cukup baru kemudian menikah. Time is come up. Menikah dengan seseorang yang terbaik menurut saya dan orang tua. Dia yang nanti menjadi satu-satunya yang saya punya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar