Laman

Selasa, 16 November 2010

Berburu Bacaan “‘pelarian” untuk Merasionalkan Perasaan

Selesai sudah buku berhalaman 299 saya baca. Judulnya memang sedikit kurang menarik, terutama untuk saya, yang sama sekali tidak mengerti balapan motoGP. Ya, buku yang ada ditangan saya berjudul “Valentino Rossi” sebuah autobiografi tentang pembalap terkenal itu. Bukan maksud untuk menjadi seorang pembalap, bukan juga untuk mengetahui seperti apa rupa mesin-mesin motor besar itu. Saya hanya membutuhkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di benak. Sebenarnya mental seperti apa yang harus dimiliki seorang juara. Pernahkan Rossi mengalami kebingungan dan kegelisahan serupa dengan saya. Kecewa dan harus menjalani masa-masa sulit untuk membesarkan hati agar ikhlas, menangani keadaan yang merepotkan, planing terpaksa berantakan, waktu terbuang sia-sia. Apakah Rossi juga merasasakan hal yang sama??

Lembar demi lembar saya lalui, menyimak dan menikmatan cerita yang ditulis, sesekali saya percepat speed membaca di bagian cerita tentang kehebatan onderdil motor. Namun entah mengapa rasanya ingin terus membaca. Hidup terlihat seperti balapan, memacu kecepatan untuk mendapat kemenangan. Ada peluang sekaligus resiko di setiap tikungan. Meski sakit dan melelahkan, jatuh dan tersungkur adalah proses belajar yang harus di lalui. Bagi pembalap, Garis finis tidak lagi harapan pribadi, tapi harapan semua orang yang menaruh hati. Itu sebabnya kadang kala, manusia menjadi agresif, berjuang demi memberi hasil yang dinginkan orang lain.

Sebenarnya, buku ini buku kedua yang saya baca sebagai bacaan “pelarian”. Buku “pelarian” pertama adalah buku Laila Majnun, yang sudah saya tamatkan selang beberapa hari sebelum autobigrafi Valentino Rossi. Dan saat ini, saya sedang membaca buku “pelarian” yang ketiga yaitu Dahlan Iskan Ganti Hati, buku keluaran tahun 2007, yang mendapat gelar best seller karena terjual mencapai angka 10.00 eksemplar di cetakan ke empat.

Buku-buku ini saya baca bukan tanpa alasan. Saat-saat sekarang, seharusnya saya mencekoki diri dengan literatur teoritis. Gunanya untuk memperdalam pemahaman saya mengenai topik yang saya angkat untuk skripsi, gelar S1, ya... saya baru akan menyelesaikan S1. Entahlah, rasanya saya ingin istirahat dari ketegangan berfikir. Lebih tepatnya saya ingin lari, menyingkir sejenak dari lelahnya menunggu data yang belum lengkap saya peroleh. Ini semakin membuat saya tegang, waktu semakin sempit, harapan sudah terlanjur saya gantung tinggi-tingi, dan kini, saya lihat tali penyanggah harapan mulai menipis, terus menipis, dibawahnya sudah siap batu cadas, kapan-kapan kalau tali itu benar-benar putus, bebatuan di bawah adalah landasan mematikan. Sadar bahwa keadaan ini tidak bisa di biarkan, saya butuh pengetahuan yang mampu mematikan fikiran pesimis saya. Yaitu pelajaran yang memberikan nilai-nilai kepada otak untuk mampu memanipulasi perasaan, y.. sebenarnya yang saya idap adalah penyakit perasaan. Semangat kendor, melihat hanya dari sisi pesimis, mau bangkit namun belum mampu. Keadaan ini tentu tidak baik jika dibiarkan. Maka, saya putuskan mondar-mandir di perpustakaan kampus untuk mencari bacaan yang dapat merasionalkan perasaan saya. Terpilihlah ke tiga buku itu.

Buku laila majnun saya pilih dengan alasan, saat itu saya ingin benar-benar berhenti memanasi hati, saya butuh sesuatu yang dapat menyiram padam kobaran kegelisahan dan kebingungan. Kata orang cinta merupakan sesuatu yang menenangankan, indah dan bersahaja. Nyatanya membaca cinta majnun kepada laila malah membuat saya berfikir betapa sulit dan tidak menyenangkan cinta mereka. Jika sang pecinta dan yang dicinta mengalami hal dan prinsip serupa dengan majnun alangkah menyedihkan. Buku kedua, autobiogfari Valentino Rossi saya pilih, seperti alasan saya di atas, bahwa penasaran saja bagaimana perjalanan karir dan konflik batin Rossi pindah dari motor super hebat ke motor yang kecepatan mesinnya jauh di bawah motor hebat itu. Sedangkan buku ketiga, sekaligus yang masih saya baca sampai tulisan ini selesai saya kerjakan (saat memositing ke blog, buku itu telah kelar saya baca) adalah buku yang saya pilih tanpa berpikir apapun. Saya lihat, saya pegang, tiba-tiba saya keluarkan kartu perpusatakaan sebagai simbol bahwa saya siap meminjam buku ini. Mulailah pertemuan saya dengan sosok Dahlan Iskan. Tiap cerita dan deskripsinya saya nikmati sambil sesekali saya telan mentah-mentah pikiran dan nilai yang dituliskan Dahlan.

Belajar dari tokoh-tokoh terkenal memberi spirit tersendiri untuk men-charger semangat yang mulai kendor. Saya mulai menemukan apa yang saya butuhkan dari membaca autobiografi tokoh yang terkenal dengan nomer 46-nya. Saya mulai menenangkan kegelisahan perasaan dengan kalimat-kalimat indah majnun kepada laila. Saya juga mulai menanamkan nilai-nilai yang diberikan Dahlan Iskan kedalam penalaran otak saya. Dan, ketiga buku ini memberi saya satu kesimpulan, bahwa bukan tanpa hambatan seorang hidup, apa yang mau di kecewakan dari hambatan jika dia sebenanrnya memberi pelajaran dan kematangan dalam setiap prosesnya. Manusia dilengkapi otak yang luar biasa, melebihi makhluk manapun di muka bumi. Berputus asa, hanya akan menumpulkan kemampuan otak. Alangkah baiknya, jika dalam keadaan lancar, tetap berpikir dan di saat terhambat semakin memacu untuk menggunakan otak.

Tidak ada komentar: