Laman

Jumat, 04 Oktober 2013

Ke-pemimpin-an...


Apa itu kepemimpinan?

Dimasa kerajaan Yunani dan Romawi, muncul pemahaman mengenai teori “great man” dimana teori ini mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat.

Prof. Siswoyo Haryono dalam “Manajemen Sumber Daya manusia untuk manajer” mengatakan bahwa konsep great man dilihat dari pengertian dasar mengarah pada suatu fungsi kualitas seorang individu, bukan fungsi situasi, teknologi atau dukungan masyarakat. 

Definisi ini membawa saya pada ilustrasi seorang penyanyi. 

Suara enak itu adalah pemberian Tuhan, tidak semua orang memiliki. Tetapi ada penyanyi-penyanyi yang suaranya tidak berciri tetapi lagu-lagunya laris. Sebagai contoh, Bunga Citra Lestari. 

Saya sedikit mengikuti karir bernyanyinya. 

Di awal-awal, seringkali suara BCL ketika bernyanyi live tidak semerdu dan sehalus rekamannya. Lambat laun, mungkin ia terus berlatih dan belajar. Mulai ada perubahan di suaranya, terutama ketika live, sudah tidak berantakan lagi.

Dari sini saya berfikir bahwa, Tuhan masih membuka kesempatan pada semua manusia untuk menjadi pemimpin, namun siapa yang benar-benar meningkatkan kemampuan dirinya, itulah yang dipilih. Ini yang kemudian dianalisa oleh para teoritis sifat, mengenai pertanyaan apa yang menyebabkan pemimpin-pemimpin lebih baik dari pada yang lainnya?

Keith Davis (dalam Manajemen SDM) menyebutkan ada 4 ciri-ciri pemimpin yang dapat membawa situasi yang baik bagi perusahaan, yaitu; intelligence, social maturity and breadth, motivasi diri dan dorongan prestasi, sikap-sikap hubungan manusiawai. 

Dari empat ini, saya tertarik menyoroti point ke-empat (hubungan manusiawi) dimana pemimpin yang baik juga harus memperhatikan harga diri dan martabat bawahan. Prof. Jasper J van der Klooter dalam International Aspects of Management berkisah mengenai sebuah peculiar habit disebuah perusahaan dimana seorang staff yang memiliki ide berilian tidak dihargai. Sekonyong-konyong ia mengatakan bahwa ia mempunyai gagasan tanpa menyebutkan bahwa ide dasarnya adalah dari orang lain.

“When one of his staffmembers had an idea to improve quality, he was normally kicked out of the boss office never heard such stupid remaks. A couple of days later he informed his staff, that he was having a brilliant idea, not mentioning that it was stolen from somebody else”

Kasus Prof.Jasper memang masuk ranah pembahasan etika. Tetapi saya setuju jika hal ini harus dibahas juga di sikap kepemimpinan. 

Hubungan hangat antara atasan dan bawahan, terciptanya situasi kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan (consideration dimension) memberi kontribusi pada keberhasilan organisasi. 

Memang secara strktural kedekatan dan keakraban memiliki tingkatan sendiri sesuai garis strktural. Namun, saya fikir lini yang terdekat dengan regular employees inilah yang harus faham mengenai consideration dimension. Jika di sekolah, maka kepala sekolah lah. 

Tiap organisasi akan meminta perhatian yang berbeda. 

Inti dari consideration dimension, menurut saya adalah bagaimana pemimpin dapat membangun komunikasi dengan bawahan. Sudah baik kah, sudah ada keterbukaan kah, atau masih ada gusuk-gusuk dibawah akibat saluran komunikasi yang tidak jalan?! 

Saluran mana yang tersumbat, apakah pemimpin yang terlihat kaku, sehingga bawahan takut menyampaikan ide dan perasaan, atau adanya gap antara bawahan dan atasan, adanya  keakraban yang tidak merata antara pimpinan dengan karyawan yang satu dan lainnya. 

Mengapa bisa sampai takut? 

Bisa jadi karena adanya pengalaman tidak mengenakkan ketika berkomunikasi dengan pimpinan. Baik itu berupa kata-kata, ekspresi dan gesture. Ingat..! bahwa bahasa non-verbal memiliki pengaruh kuat terhadap kelancaran komunikasi. 

Ada sebuah kejadian yang saya fikir  cocok untuk menjadi contoh penjelasan diatas.

Seorang karyawan datang keatasan untuk tujuan tertentu, kemudia dia utarakan maksud dan tujuannya dengan harapan meski tidak mendapat  solusi setidaknya diberi motivasi, alih-alih mendapat masukan, sang pemimpin bersikap acuh sambil melontarkan kata “suruh siapa..!” 

Akhir dari kisah ini adalah, muncul satu keengganan di kalangan karyawan untuk berkomunikasi dengan pimpinan, dan yang fatal, fikir saya, karena karyawan enggan terbuka, sedangkan pihak perusahaan pun tetap butuh informasi mengenai karyawan, maka muncul lah “mata-mata” yang diciptakan pemimpin. 

Kalau sudah begini, bukan lagi tersumbat jalur komunikasinya tetapi sudah terputus..!

Lantas apa yang harus dilakukan sekarang?

Putus bukan berarti kiamat. Jika sudah terputus, sambung lagi..! pasti ada solusi. Tugas kita semua lah untuk memperbaiki. Karena tiap-tiap lini saling mempengaruhi satu sama lain. 

“Pemimpin mempengaruhi kelompok dan situasi. Kelompok mempengaruhi pemimpin dan situasi. Situasi mempengarhi pemimpin dan kelompok”


Wallahu’alam

Selamat introspeksi diri masing-masing.

Listening to blowin’ in the wind –  by vazques (cover)

Tidak ada komentar: