Saat bahagia, pihak yang saya rindu adalah keluarga. Saat sakit, mereka tetap yang paling saya inginkan. Tengah malam, saya merasa ada yang tidak beres, tidak hujan namun terasa begitu dingin, suhu tubuh meningkat, menggigil, sesak dan pusing semakin menyakitkan. Saya sadar, bahwa saya akan sakit.
Beberapa jam merasakan deman seorang diri sungguh memilukan hati, tidak ada yang mengulurkan tangan ke dahi untuk mengukur seberapa tinggi deman yang saya derita. Tidak ada yang menyiapkan obat untuk saya minum, tidak ada yang menanyakan seberapa sakit yang saya rasa.
Dalam demam, berharap ada umi, aba dan kakak di sini, memopang saya untuk minum obat, menarik selimut dan merapihkan tumpukan bantal agar saya bisa tertidur. Namun mereka tidak ada, tiba-tiba mata ini terasa begitu hangat, menjatuhkan butiran air mata yang tidak bisa ditahan. Saya harus menajalaninya seorang diri. Menahan dan mengurusnya sendiri.
Teman? Mereka hadir sekedar untuk menyapa. Seterusnya, mereka punya perjalanan kegiatan masing-masing. Siapa yang bisa menggantikan kepedulian keluarga? Siapa yang bisa mendengar tetesan air mata menahan demam yang sangat menyakitkan kecuali keluarga. Datangnya sakit, sama sekali tidak saya harapakan, namun ketika ia datang, siapa yang bisa mencegah.
Hidup jauh dari orang tua memang harus siap menerima semua keadaan buruk yang mungkin harus dihadapi. Teman, bukan insan yang bisa diharapkan kepeduliannya seperti orang tua memberi perhatian pada anaknya. Saya mengerti. Masing-masing memiliki pekerjaan yang lebih prioritas dibanding mengurusi saya yang bukan siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar