Laman

Rabu, 14 September 2011

Sekufu atau tidak sekufu?

Get Married 3, sebuah film komedi yang disutradarai Hanung Bramantyo akhirnya saya tonton juga. Selain melihat iklan promonya di acara musik, film ini menjadi film rujukan dari beberapa teman. Lumayan buat bikin ketawa. 

Bagi saya pribadi, get married 3 kurang begitu kocak dibanding film sebelumnya. Ceritanya hanya membahas masalah suami istri yang baru punya anak. Mae mengalami baby blues dan ketiga teman  mae mulai mengalami pergerakan karir yang  unik.

Pesan yang ingin diangkat adalah mengenai ikatan keluarga, bahwa betapapun permasalahanya, keluarga merupakan pelabuhan satu-satunya dari semua kegiatan dunia.


Secara keseluruhan, lika-liku konflik yang ditampilkan film ini normal-normal saja, biasa-biasa saja, tidak terlalu banyak menguras emosi, yang menarik dan menjadi konsentrasi pribadi saya adalah bahwa pasangan pernikahan seperti mae dan rendy terbilang langka. Dalam hidup yang mengajarkan manusia untuk memandang kelas dan kasta sosial, akan sulit bagi seorang mae (dalam kehidupan nyata) mendapat pria seperti rendy yang kaya lagi terpelajar. Kalau tidak benar-benar nekat  cowonya. Hal ini diikuti dengan banyaknya penasehat yang mengajarkan untuk mencari pasangan yang sekufu. Baik dalam tingkatan ekonomi dan juga masalah pendidikan. Tujuannya untuk menghindari kesenjangan pandang yang begitu mencolok, kelak. 
Berbagai tulisan memuat tanggapan dari para pakar bergelar M.Si, Psi, MA, S.Ag mengenai betapa berpengaruhnya sekufu bagi pria dan wanita dalam berumah tangga. Berjauhan kadar pengetahuan dan pengalaman akan sulit mempersatukan kesamaan berfikir, ujungnya salah satu pihak mungkin akan merasa tidak dipahami pemikirannya oleh pasangan, ini yang dikhawatirkan dapat menjadi pemicu tidak berjalan harmoni sebuah keluarga. 
Muncul anggapan dari obrolan ala-ala kantin dan warung lesehan, kalau anak pengusaha pasti mudah mendapat pasangan yang cantik atau ganteng. Kalau anak cendikia pasti pasangannya turunan priai, kaya dan berpendidikan. Tentu ini hanya sekedar anggapan ringan tanpa teori yang pasti, namun setidaknya inilah yang terbenak di fikiran beberapa orang dalam memaknai arti sekufu. Lantas perlukah ini diyakini?? Mari lihat keadaan yang ditunjukkan alam.
Kehidupan dengan berjuta kisah yang disajikan, aneh dan kadang suka tidak sampai dilogika, memberi sejuta jawab dengan sebuah fakta. Wanita dewasa lulusan S1 menikah dengan pria lulusan SD, benar-benar ada dan terjadi. Jawaban dari keanehan ini terlontar “saya dan suami selama ini tidak mengalami kendala komunikasi yang cukup berarti, untuk saling mengerti, kami sama-sama banyak membaca buku”. Ada lagi seorang wanita nan hebat, berpendidikan tinggi, sering bepergian ke luar negeri guna berdiskusi dengan orang-orang pintar, menikah dengan pria biasa ber-profesi  guru. Jomplang memang, tapi inilah sedikit kisah yang ada.  

Kisah ini tentu tergantung individu. Bagi saya pribadi, akan tidak mungkin seseorang menentukan sikap tanpa ada argumentasi sebelumnya. Apa pun itu, masing-masing berhak menentukan jalan dan cara apa yang digunakan untuk mengambil sebuah keputusan. Termasuk berhak menentukan standar kualitas bagi pasangan.

Tidak ada komentar: