Get Married 3, sebuah film komedi
yang disutradarai Hanung Bramantyo akhirnya saya tonton juga. Selain melihat
iklan promonya di acara musik, film ini menjadi film rujukan dari beberapa
teman. Lumayan buat bikin ketawa.
Bagi saya pribadi, get married 3
kurang begitu kocak dibanding film sebelumnya. Ceritanya hanya membahas masalah
suami istri yang baru punya anak. Mae mengalami baby blues dan ketiga teman mae mulai mengalami pergerakan karir yang unik.
Pesan yang ingin diangkat adalah mengenai
ikatan keluarga, bahwa betapapun permasalahanya, keluarga merupakan pelabuhan satu-satunya
dari semua kegiatan dunia.
Secara keseluruhan, lika-liku
konflik yang ditampilkan film ini normal-normal saja, biasa-biasa saja, tidak
terlalu banyak menguras emosi, yang menarik dan menjadi konsentrasi pribadi
saya adalah bahwa pasangan pernikahan seperti mae dan rendy terbilang langka.
Dalam hidup yang mengajarkan manusia untuk memandang kelas dan kasta sosial,
akan sulit bagi seorang mae (dalam kehidupan nyata) mendapat pria seperti rendy
yang kaya lagi terpelajar. Kalau tidak benar-benar nekat cowonya. Hal ini diikuti dengan banyaknya
penasehat yang mengajarkan untuk mencari pasangan yang sekufu. Baik dalam
tingkatan ekonomi dan juga masalah pendidikan. Tujuannya untuk menghindari
kesenjangan pandang yang begitu mencolok, kelak.
Berbagai
tulisan memuat tanggapan dari para pakar bergelar M.Si, Psi, MA, S.Ag mengenai
betapa berpengaruhnya sekufu bagi pria dan wanita dalam berumah tangga. Berjauhan
kadar pengetahuan dan pengalaman akan sulit mempersatukan kesamaan berfikir, ujungnya
salah satu pihak mungkin akan merasa tidak dipahami pemikirannya oleh pasangan,
ini yang dikhawatirkan dapat menjadi pemicu tidak berjalan harmoni sebuah
keluarga.
Muncul anggapan
dari obrolan ala-ala kantin dan warung lesehan, kalau anak pengusaha pasti
mudah mendapat pasangan yang cantik atau ganteng. Kalau anak cendikia pasti
pasangannya turunan priai, kaya dan berpendidikan. Tentu ini hanya sekedar
anggapan ringan tanpa teori yang pasti, namun setidaknya inilah yang terbenak di
fikiran beberapa orang dalam memaknai arti sekufu. Lantas perlukah ini diyakini??
Mari lihat keadaan yang ditunjukkan alam.
Kehidupan
dengan berjuta kisah yang disajikan, aneh dan kadang suka tidak sampai dilogika,
memberi sejuta jawab dengan sebuah fakta. Wanita dewasa lulusan S1 menikah
dengan pria lulusan SD, benar-benar ada dan terjadi. Jawaban dari keanehan ini
terlontar “saya dan suami selama ini tidak mengalami kendala komunikasi yang
cukup berarti, untuk saling mengerti, kami sama-sama banyak membaca buku”. Ada
lagi seorang wanita nan hebat, berpendidikan tinggi, sering bepergian ke luar
negeri guna berdiskusi dengan orang-orang pintar, menikah dengan pria biasa ber-profesi guru. Jomplang memang, tapi inilah sedikit
kisah yang ada.
Kisah ini tentu tergantung
individu. Bagi saya pribadi, akan tidak mungkin seseorang menentukan sikap
tanpa ada argumentasi sebelumnya. Apa pun itu, masing-masing berhak menentukan
jalan dan cara apa yang digunakan untuk mengambil sebuah keputusan. Termasuk
berhak menentukan standar kualitas bagi pasangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar