Berjalan sepanjang malioboro, ada hal yang terkadang terlewatkan. Kebanyakan orang datang kemudian sibuk dengan kebutuhannya masing-masing. Padahal jika sedikit saja menoleh dan berhenti sejenak untuk memperhatikan, tersimpan banyak kejadian yang bisa mematangkan emosi untuk bijak menjalani hidup
Tengok keluar di pintu-pintu mall, beberapa wajah letih, terus berusaha menawarkan jasanya, demi mengumpulkan selembar uang lima ribuan.Di pinggir jalan, wajah-wajah gosong karena sinar matahari dan tubuh kurus dibalut pakaian berwarna orange, sibuk merapihkan deretan kendaraan.
Sepanjang lorong malioboro, pedagang dagadu dan souvenir memperhatikan setiap pengunjung yang lewat, dengan harapan ada yang membeli dagangannya. Sesosok wanita tua yang mulai beruban, berkebaya dan berkalungkan selendang yang biasa digunakan untuk menggendong bawaan, duduk menanti dengan wajah penuh harap, wajah yang menunjukkan kekhawatiran “berapa dagangan yang akan terjual hari ini, berapa rupiah yang akan dibawa pulang”
Dikejauhan terlihat seorang bapak, duduk lesehan memainkan angklung dengan kaleng yang dijadikan wadah untuk mengumpulkan uang, di depannya. Sambil tertunduk dan mata yang terpejam karena cacat. Setiap alunan lagu dibawakan dengan satu impian, agar wadah kalengnya terisi uang. Saya masih teringat betul wajah itu, wajah yang sudah letih untuk mengeluh
Di sisi lain, di kedalaman mall, suasana, sudah tidak memungkinkan lagi untuk berempati dengan orang yang berada di dalamnya. Perhatikan wajah orang-orang borju yang sibuk memilih barang mahal untuk kesenanganya. Badan gemuk, wajah bersih, wangi parfum harga ratusan ribu.
Mahasiswa, si penerima uang bulanan secara cuma-cuma, berseliweran di rak-rak sepatu, sibuk mencoba, memilih dan mempertimbangkan harga. Di tempat makan cepat saji, sepasang suami istri sedang sibuk membujuk anaknya untuk makan. Entah karena si istri tidak bisa masak atau bosan dengan menu rumahan akhirnya sekeluarga makan di tempat yang lebih mahal, dibanding makan dirumah dengan menu yang sama
Hidup memang mengharuskan keadaan tidak seimbang, sang Maha Kuasa sudah mengatur semuanya berpasang-pasangan, ada kaya ada miskin, ada mudah ada susah, ada bahagia ada sengsara. Perbedaan ini, bagi saya, sebagai alarm disaat saya mulai khilaf untuk bersyukur, selalu kurang dan ingin materi yang lebih. Padahal kesempatan yang saya jalani jauh lebih beruntung.
Berkat sedikit menoleh untuk melihat ke sekitar, saya memahami perjuangan bapak tukang becak, bapak parkir, bapak pengamen dan mbah pedagang buah. Mereka menyadarkan saya untuk terus berjuang mencapai cita-cita, rasa letih yang sering saya keluhkan, tidak berarti apa-apa dibanding usaha mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar