Aku jatuh cinta, Kali ini kepada Fathan Mubarak dalam “Melawan Jarak”. Jangan kaget dan jangan juga lekas berkata “cieee”... Aku memang selalu jatuh cinta, pasti jatuh cinta, setiap selesai membaca buku, tapi tidak semua pengarang buku aku cintai- hanya buku-buku yang ku baca di saat pikiran memanas dan si penulis memberi ketenangan serta kekuatan kepada ku, disanalah aku akan jatuh cinta. Cinta tak bertuan, ah.. lagi?!, aku kesemsem dengan Fathan Mubarak, buktinya kalimat itu, kalimat “Cinta tak Bertuan” milik Ftan, aku gunakan di tulisan pribadi ini. sudahlah, tidak usah menduga-duga rasa cinta ku..- biar tidak penasaran, akan aku katakan dimana dan mengapa aku jatuh cinta..
Ini yang patut aku syukuri, tiap hati dan perasaan ruwet, semrawut, masih ada kebenaran hati yang mengantarkan aku menuju perpustakaan, menggerakan tangan menyentuh deretan buku favorit, di pojok ruangan itu, di rak buku yang banyak menawarkan pemikiran dan resapan hidup itu, biasanya aku melabuhkan kekusutan pikiran. Disanalah aku kerap bertemu dan jatuh cinta dengan sosok-sosok baru dari beragam usia. Mulai yang masih lajang sampai yang sudah beranak cucu. Semua tidak lepas dari perburuan cinta ku. Termasuk Fathan Mubarak. Dialah orang terbaru yang aku sukai, dan bukunya masih ku baca sampai tulisan ini aku torehkan. Cinta kepadanya tumbuh meski baru membaca bukunya di halaman 35. Sudut pandang, nalar, kepandaian dan luasnya pengetahuan, ditawarkan olehnya, dan itu sungguh, sungguh memberikan magnet yang mampu memberdirikan ku dari perasaan yang sedang takut akan semua berjalan tidak benar.
Jika banyak penulis mengatakan, bahwa membaca buku bukan sekedar menambah pengetahuan tetapi juga sebagai bentuk rekreasi tanpa mengeluarkan biaya dan tenaga pergi ke suatu tempat, aku setuju. Hingga kini, aku sudah berekreasi ke paris perancis melalui (kalau tidak salah, judul bukunya “Rantau”). Pernah juga aku berkunjung ke RS di Tiongkok melalui “Dahlan Iskan Ganti Hati”, menonton pertandingan Valentino Rossi melalui ”Valentino Rossi”, merasakan gaya hidup dan kerja ala jakarta melalui ”Lavender Green”, dan kalau kalian tahu, Kota-kota dan negara-negara itu masih sangat terasa dalam hati dan ingatan. Oh iya, aku ingat, tentang cerita Fathan mengenai masa sekolahnya dulu, kerjanya nongkorong dan membuat puluhan undang-undang yang berlaku hanya untuk kelompoknya, sebuah peraturan yang tidak tercatat dan dirapatkan di DPR-MPR, namun aku percaya, pembuat UU, Ftan dan temannya bertanggungjawab atas peraturan yang mereka buar. Semoga!. Fathan benar, masa sekolah adalah masa dimana tanggungjawab masih bisa dikesampingkan, masa dimana teriakan masih sering menjadi solusi. Kalau boleh diulang, aku ingin kembali dimasa itu, massa yang mudah saja meluapkan kejengkelan dengan marah-marah. Massa yang setiap permasalahan dapat dengan mudah di ekspresikan tanpa banyak pertimbangan. Tapi, waktu sudah membawa ku di usia ini, siapa yang bisa membantahnya?? Merajuk-meminta, agar dikembalikan ke masa sekolah, waktu tak akan memperdulikan!! Memang siapa aku?! Sampai berani merajuk waktu!!
Fathan juga menyusun kata, tentang kealpaannya jika harus mengira dan menduga apa yang dipikirkan Iyank-nya. Ah’ Ftan, betapa baik kamu ini, jika saja semua orang sesederhana itu untuk tidak menafsirkan gerakan orang seenaknya, mungkin konflik tidak akan menegang. Jujur saja, aku pun belum bisa seperti kamu Ftan, namun setidaknya sudah ada keinginan untuk mencobanya. Tahu kah kamu, betapa pilunya aku saat sebuah senyuman dimaknai seolah aku merendahkan?! Dan dengan seketika, saat ada orang lain yang bisa mendengarkan datang, dia ceritakan senyuman-ku itu (yang dianggapnya merendahkan) kepada orang lain? Ah.. siapakah yang salah, senyumku, atau memang sebelum dia melihat senyum itu, sudah ada di hatinya perasangka aku akan merendahkannya?! Bukankah sering kita keliru hanya karena sebelumnya pikiran sudah membuat kesimpulan sendiri? Rasanya ingin langsung berteriak memberi solusi, tapi... aku sudah bukan lagi di masa sekolah. Atau apakah mungkin karena aku murah senyum, sehingga sunggingan bibirku membentuk lekuk yang nampak merendahkan?? Atau... memang saat itu aku sedang merendahkan dia?! Dengan senyum?? Tegakah aku?? Pusing! Apa pun itu, Buat apa aku terlalu mempermasalahkannya, toh, ini bukan permasalahan serius yang harus diributkan. Jika dia begitu cepat mengambil tindakan mengadukan perasaannya kepada orang lain, tanpa mengendapkannya sebentar saja untuk direnungkan, aku kira akan lama baginya untuk dapat memaknai perbedaan. Meski ada keinginan untuk membalas, biarlah, aku ikhlaskan saja, bukankah aku berkali-kali berteriak lantang agar suporter Indonesia tidak membalas tindakan negara tetangga di Stadion?
Kelak waktu akan memberi jawaban mana yang lebih enak, kalah dengan ketenangan, atau menang tapi membawa ketidak nyamanana dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar