Indonesia telah kedatangan internet sejak tahun
1994 dan terus mengalami perkembangan fungsi guna, tidak lagi sekedar untuk
kebutuhan edukasi, tetapi berkembang menjadi “Parlemen Online”.
Sejarah kasus Prita Mulyasari mengangkat
keberadaan media online di Indonesia, kemudian disusul dengan maraknya aksi
dukungan facebook untuk isu-isu sosial dan politik di negeri ini. Para artis
seperti Adi MS dan Marisa Haq juga meramaikan media online dengan war onlinenya. Angelina sondakh menyedot
perbincangan online dengan curhatan-curhatannya. Para pekerja otot juga tidak
ingin ketinggalan memanfaatkan media online dengan menerbitkan website bertajuk
“Hitman” (pembunuh bayaran) yang sekarang telah ditutup dan ramai
diperbincangkan.
Pemerintah sesungguhnya memiliki undang-undang
yang mengatur segala macam informasi dan transaksi elektronik. Namun pengawasan
terhadap etika pengguna media online hanya dapat dikontrol oleh kesadaran para
pengguna media online sendiri. Masalahnya adalah belum semua pengguna media
online memiliki sadar akan etika berinternet. Ini yang memunculkan kasus online
war yang sering terjadi.
Baru-baru ini kasus video asusila juga
menyebut-nyebut undang-undang transaksi elektronik. Padahal bukan internetnya
atau transaksi elektroniknya yang bermasalah, lebih dari itu adalah kedewasaan
para pengguna internet.
Di Negara-negara Eropa, pembahasan media online
bukan lagi berkutat pada diskusi dampak-dampak negative media online, melainkan
terus berfikir dan mengembangkan fitur-fitur baru untuk memaksimal
pemanfaatannya. Seperti yang dilansir dalam situs berita VoaIndonesia menyebutkan bahwa di Amerika, kuliah melalui online semakin marak.
Sedangkan Keberadaan Media online di negara
berkembang dengan prinsip demokratis, seperti Indonesia, hadirnya media online
diterima namun belum ada kesiapan, seperti peraturan yang mengaturnya, budaya
Asia yang dianutnya dan kesadaran penggunanya. Sebagai contoh semasa saya
kuliah, pihak kampus telah meluncurkan e-learning, namun konsep e-learning
tidak sesuai dengan namanya, hanya dosen yang merangkap sebagai PR kampus yang
banyak memberikan tugas melalui e-learning. Itupun tidak bersifat interaktif, hanya
mengambil materi di e-learning, pengumpulan tugas masih tetap melalui email dan
hardcopy.
______
Lain Eropa, lain Indonesia, lain lagi dengan
Tiongkok yang dipimpin oleh rezim. Bagi rezim, internet adalah ancaman,
sehingga pengunaan Internet dan jejaring sosial sangat dikontrol. Rezim
Tiongkok yang berkuasa secara resmi melakukan full control untuk segala
kegiatan online warganya. Terutama situs yang bersebrangan dengan pemerintah.
“Pemutusan saklar internet” oleh rezim Tiongkok dilakukan untuk menekan
kegiatan yang dapat mengancap kekuasaan rezim. Atas tindakan tegasnya tercatat
pemerintah Tiongkok telah menutup 16 situs dan menghukum dua situs media
online.
Perbedaan cara menerima media online antara
Negara barat, Negara berkembang dan Negara rezim tidak terlepas dari status
Negara: Negara maju kah? Sedang berkembang kah? atau Negara dengan pemerintah
yang memiliki kekhawatiran tinggi terhadap kekuasaannya?
Intinya adalah, media online memberikan banyak
tawaran, tergantung bagaimana menyikapinya. Mengambilnya menjadi saluran untuk
menambah wawasan? atau menganggapnya sebagai ancaman?
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar