Laman

Rabu, 25 April 2012

Media Online: Lain di Eropa, Lain di Indonesia, Lain lagi di Tiongkok

Indonesia telah kedatangan internet sejak tahun 1994 dan terus mengalami perkembangan fungsi guna, tidak lagi sekedar untuk kebutuhan edukasi, tetapi berkembang menjadi “Parlemen Online”. 

Sejarah kasus Prita Mulyasari mengangkat keberadaan media online di Indonesia, kemudian disusul dengan maraknya aksi dukungan facebook untuk isu-isu sosial dan politik di negeri ini. Para artis seperti Adi MS dan Marisa Haq juga meramaikan media online dengan war onlinenya. Angelina sondakh menyedot perbincangan online dengan curhatan-curhatannya. Para pekerja otot juga tidak ingin ketinggalan memanfaatkan media online dengan menerbitkan website bertajuk “Hitman” (pembunuh bayaran) yang sekarang telah ditutup dan ramai diperbincangkan.

Pemerintah sesungguhnya memiliki undang-undang yang mengatur segala macam informasi dan transaksi elektronik. Namun pengawasan terhadap etika pengguna media online hanya dapat dikontrol oleh kesadaran para pengguna media online sendiri. Masalahnya adalah belum semua pengguna media online memiliki sadar akan etika berinternet. Ini yang memunculkan kasus online war yang sering terjadi. 

Baru-baru ini kasus video asusila juga menyebut-nyebut undang-undang transaksi elektronik. Padahal bukan internetnya atau transaksi elektroniknya yang bermasalah, lebih dari itu adalah kedewasaan para pengguna internet. 

Di Negara-negara Eropa, pembahasan media online bukan lagi berkutat pada diskusi dampak-dampak negative media online, melainkan terus berfikir dan mengembangkan fitur-fitur baru untuk memaksimal pemanfaatannya. Seperti yang dilansir dalam situs berita VoaIndonesia menyebutkan bahwa di Amerika, kuliah melalui online semakin marak.

Sedangkan Keberadaan Media online di negara berkembang dengan prinsip demokratis, seperti Indonesia, hadirnya media online diterima namun belum ada kesiapan, seperti peraturan yang mengaturnya, budaya Asia yang dianutnya dan kesadaran penggunanya. Sebagai contoh semasa saya kuliah, pihak kampus telah meluncurkan e-learning, namun konsep e-learning tidak sesuai dengan namanya, hanya dosen yang merangkap sebagai PR kampus yang banyak memberikan tugas melalui e-learning. Itupun tidak bersifat interaktif, hanya mengambil materi di e-learning, pengumpulan tugas masih tetap melalui email dan hardcopy.
______

Lain Eropa, lain Indonesia, lain lagi dengan Tiongkok yang dipimpin oleh rezim. Bagi rezim, internet adalah ancaman, sehingga  pengunaan Internet dan jejaring sosial sangat dikontrol. Rezim Tiongkok yang berkuasa secara resmi melakukan full control untuk segala kegiatan online warganya. Terutama situs yang bersebrangan dengan pemerintah. “Pemutusan saklar internet” oleh rezim Tiongkok dilakukan untuk menekan kegiatan yang dapat mengancap kekuasaan rezim. Atas tindakan tegasnya tercatat pemerintah Tiongkok telah menutup 16 situs dan menghukum dua situs media online.

Perbedaan cara menerima media online antara Negara barat, Negara berkembang dan Negara rezim tidak terlepas dari status Negara: Negara maju kah? Sedang berkembang kah? atau Negara dengan pemerintah yang memiliki kekhawatiran tinggi terhadap kekuasaannya?

Intinya adalah, media online memberikan banyak tawaran, tergantung bagaimana menyikapinya. Mengambilnya menjadi saluran untuk menambah wawasan? atau menganggapnya sebagai ancaman?

Sumber :



Tidak ada komentar: