Laman

Selasa, 24 Februari 2009

Berbeda...

Saya dan teman saya memang berbeda. Beda keinginan, beda ambisi dan beda tujuan. Perbedaan inilah yang kemudian membuat saya maklum ketika salah seorang teman saya melulu mengeluh pusing kuliah. seolah-olah semua mata kuliah susah dimata dia. Nilai C, tinggal sp.

Tapi… paling semangat kalo ngomongin cowo. Paling dewasa kalo ngomongin bagaimana hidup berumah tangga, bagaimana harus saling pengertian, paling bijak mengatur pengeluaran untuk belanja bulanan.

Ada lagi yang polos banget, gak tau bedanya gelar dokter sama doktor. Ampun deh. Entah apa yang dibaca tiap harinya, entah apa yang ditonton tiap harinya. Tapi y.. begitulah keadaan beberapa teman saya. Mereka-mereka inilah yang terkadang membuat saya jenuh, jengkel, kesal dan geram. Segitu dangkalkah ambisi mereka. Segitu ringankan pencapaian yang ingin mereka raih. Tapi sudahlah, setiap orang berasal dari budaya keluarga yang berbeda. Beda orang tua, beda pula cara penanaman sudut pandang.

Hari ini, saya banyak belajar dari sosok dosen yang baru saya temui di semester empat. Salah satunya, ibu DR. Ratna Noviani. Dosen yang Muda, cantik dan energik. Menyampaikan materi dengan sangat lugas, tepat dan cerdas. Kepiawaian dan kecerdasan beliaulah yang membuat saya terpesona. Terpesona untuk bisa meniru beliau. Berwawasan luas, pandai menyampaikan pesan dan sangat membuka diri pada mahasiswa.

Satu kunci yang harus saya maknai untuk menjadi seperti beliau adalah tidak boleh minim ilmu pengetahuan. Memiliki ambisi yang kuat untuk terus belajar dan menambah wawasan. Fokuskan pada itu, baru kemudian berfikir seperti teman saya di atas, mencari pendamping hidup.

Teman saya itu bilang, jadi wanita memang harus menjadi ibu rumah tangga. Betul, saya setuju dengan itu. Mungkin yang berbeda, menjadi ibu yang bagaimana?? Ibu yang berwawasan luas, atau ibu yang kuliah hanya untuk di bilang lulusan S1?? Sebenarnya, tujuan kuliah yang benar bukan sekedar itu. Semakin luas pengetahuan yang kita miliki akan semakin baik dalam mengelolah kehidupan di keluarga, mendidik anak, berkomunikasi dengan suami. Itu teori yang saya yakini betul.

Kiyai yang berilmu lebih baik dari pada ahli ibadah yang tidak berilmu. Mungkin sebagian pernah kita melihat atau dengar film-film yang menceritakan seorang ahli ibadah yang tidak berilmu kemudian malah musyrik. Kenapa?? Karena tidak ada ilmu yang membentengi dia. Ada bujuk rayu setan, kemudian tergoda dan akhirnya merusak nilai ibadahnya. Dengan ilmu ada bujuk setan, kita bisa menangkis dengan teori-teori atau ilmu yang ada, yang kita pelajari.

Saya bersyukur, memiliki tujuan bahwa wawasan ilmu pengetahuan itu penting, mengejar keinginan dan menjalani big plann saya dengan ambisi yang kuat. Yang saya kira, tidak semua wanita, termasuk teman-teman saya memiliki tujuan yang sama. Yaitu pencapaian karir pekerjaan yang excellent. Good job and good family.

Jumat, 20 Februari 2009

Musim Nikah...

Musim hujan musim nikah, ada duka ada bahagia.. Bulan Januari Februari. Tiga undangan mampir ke rumah saya, acara pernikahan. Mempelai wanitanya teman saya, umur 20 tahun. Usia belum lulus kuliah. Kerjaan belum mapan. Karir belum meranjak. Apa yah yang jadi pertimbangan mereka?

Teman saya bilang, ini sudah jodoh. Jodoh untuk menikah di usia 20 tahun. Memang, nikah adalah pilihan, pilihan adalah masalah waktu. Setiap pilihan berarti disertai dengan kesiapan. Kesiapan untuk menghadapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Sah saja mereka berfikir begitu, tapi saya memiliki pandangan yang berbeda. Menikah tidak sekedar hidup bersama, punya anak, menjadi ibu, menyiapkan sarapan, pergi kepasar. That is not simple like that.

Perlu bekal untuk mengarunginya. Begitu kompleks. Kolaborasi komunikasi dari dua kepala yang berbeda, menyatukan jalan yang kadang bersebrangan, pengaturan kehidupan untuk anggota keluarga yang makin bertambah dengan kehadiran anak. Tanggungjawab yang mulai berat dengan kehidupan yang mulai serba mandiri. Kewajiban dengan pertumbuhan anak, pendidikan dan mengikuti semua kebutuhan hidup keluarga.

Usia 20 tahun, bekal apa yang sudah bisa dibawa?? Sekedar kesiapan tidak cukup. Sebenarnya hidup ini berjenjang. Saat nikah, ada usianya. Usia dengan segala kemapan: Kemapanan kedewasaan, pengetahuan dan kemapanan karier. Dengan kesiapan yang sempurna, akan mudah nantinya menjalani hidup dalam pernikahan. Level bungsu dari hidup sebelum kembali kepada sang pencipta.

Bagi saya, jalani hidup sesuai tingkatnya. Usia 20, saatnya kuliah, cari pengalaman kemudia kerja, memiliki karier, tabungan lebih dari cukup baru kemudian menikah. Time is come up. Menikah dengan seseorang yang terbaik menurut saya dan orang tua. Dia yang nanti menjadi satu-satunya yang saya punya.