Laman

Sabtu, 03 April 2010

Saat sakit...

Saat bahagia, pihak yang saya rindu adalah keluarga. Saat sakit, mereka tetap yang paling saya inginkan. Tengah malam, saya merasa ada yang tidak beres, tidak hujan namun terasa begitu dingin, suhu tubuh meningkat, menggigil, sesak dan pusing semakin menyakitkan. Saya sadar, bahwa saya akan sakit.

Beberapa jam merasakan deman seorang diri sungguh memilukan hati, tidak ada yang mengulurkan tangan ke dahi untuk mengukur seberapa tinggi deman yang saya derita. Tidak ada yang menyiapkan obat untuk saya minum, tidak ada yang menanyakan seberapa sakit yang saya rasa.

Dalam demam, berharap ada umi, aba dan kakak di sini, memopang saya untuk minum obat, menarik selimut dan merapihkan tumpukan bantal agar saya bisa tertidur. Namun mereka tidak ada, tiba-tiba mata ini terasa begitu hangat, menjatuhkan butiran air mata yang tidak bisa ditahan. Saya harus menajalaninya seorang diri. Menahan dan mengurusnya sendiri.

Teman? Mereka hadir sekedar untuk menyapa. Seterusnya, mereka punya perjalanan kegiatan masing-masing. Siapa yang bisa menggantikan kepedulian keluarga? Siapa yang bisa mendengar tetesan air mata menahan demam yang sangat menyakitkan kecuali keluarga. Datangnya sakit, sama sekali tidak saya harapakan, namun ketika ia datang, siapa yang bisa mencegah.

Hidup jauh dari orang tua memang harus siap menerima semua keadaan buruk yang mungkin harus dihadapi. Teman, bukan insan yang bisa diharapkan kepeduliannya seperti orang tua memberi perhatian pada anaknya. Saya mengerti. Masing-masing memiliki pekerjaan yang lebih prioritas dibanding mengurusi saya yang bukan siapa-siapa.

Sendiri tidak lebih baik...

Sore ini, bertemankan secangkir moccacino dan donat, mencoba melepas penat. Namun semua tidak berhasil. Tempat yang begini nyaman, hanya aku nikmati seorang diri. Ku pejamkan mata, mencoba menetralkan keadaan hati, begitu hangat, indah bisa melihatnya, tatapan penuh hangat dan nasehat menyejukkan, mendengarkan setiap cerita sedih maupun gembira. Saat menoleh tidak ada siapa pun disamping.

Semua kelengkapan yang dimiliki tidak bisa membantu. Apa yang salah, aku yang terlalu pendiam dan menutup diri? atau ini hanya alur hidup yang harus dijalani. Jika iya, segera ingin menyudahinya, berlari dan bersembunyi, meneriakkan akan kebutuhan teman atau seseorang yang bisa berbagi.

Agak berpikir autistik memang, membayangkan dengan secangkir minuman, berbincang dan mendengar untaian kalimat dari mulutnya, menatap riang wajah nan bersahaja penuh kasih sayang, pasti sangat menenangkan. Kapan, pertanyaan itu terus menghantui? Pertanyaan yang tak kunjung ada jawaban, jika waktu dilalui seperti hari ini, tidak ada siapa pun disana, apa lagi yang bisa diperbuat.

Mengeluh tidak bisa menghapus kekeringan hati.Mencoba mencari alternative tetap tidak bisa membuat tersenyum. Akhirnya, hanya begini, menghabiskan waktu di tempat ber’Ac dengan secangkir mocaccino, sendiri. Namun Kelak, suatu hari, ketika sosok yang aku harapkan datang, menemani aku ditempat ini, berbagi pelajaran hidup dengan wawasannya dan menceritakan indahnya pengalaman dengan kearifannya. Kepenata ini mungkin akan pudar dengan sendirinya. Bersabar sampai hari nanti, semoga aku mampu.