Laman

Senin, 28 September 2009

its not to forever...

Lebaran sudah sepekan berlalu, meninggalkan siapa saja yang bahagia akan kedatangannya, dan juga meninggalkan mereka: siapa saja yang menyambut lebaran dengan perasaan biasa. Untuk saya dan keluarga, lebaran kali ini terasa indah meski melelahkan.

Pulang kampung bertemu mbah dan suasana baru yang jauh dari bisingnya kendaraan dan hilir mudik kesibukan orang bekerja. Penantian selama dua tahun, terbayar sudah, meski hanya dalam satu minggu.

Dan kini, meski sekuat apapun hati berdoa untuk bisa tetap berada dalam suasana ini, waktu tidak akan diam untuk berhenti berputar. Dan akhirnya, semua kegembiraan memudar seiring waktu yang terus menjauh.

Itu berarti waktunya untuk kembali pulang dan bergelut dengan rutinitas harian. Kembali kerja dan kembali sekolah. Walau tidak enak untuk dibayangkan, semua harus tetap berjalan. Sekuat apapun hati meminta agar kebahagian tidak lekas pergi, waktu memberi jawaban yang lain.

Tidak ada yang bisa diperbuat untuk menghentikan waktu, jika saja logika ini tidak mampu untuk berfikir dan hati ini tidak sanggup untuk berbatin. Mungkin saya akan menjadi orang yang keras untuk menerima kenyataan bahwa waktu tidak selamanya berada di kebahagian, waktu datang seiring kebahagian dan kesedihan.

Sama seperti lebaran ini. Waktu menghampiri bersama kebahagian. Dan datang lagi bersama kesedihan. Saya ingat betul, jam satu dini hari ketika mobil pribadi keluarga saya tiba di depan rumah mbah. Membunyikan klakson, tiba-tiba keluar bule dan mbah dengan senyum menggumbar bahagia. Peluk hangat menyambut kedatangan keluarga saya.

Seminggu kemudian, salam dan peluk hangat itu, teriris seiring waktu untuk berpisah, saat pamitan mbah menitikkan air mata. Umi dan aba juga ikutan sedih dibuatnya. Saya mengerti bahwa perpisahan ini berat, maaf mbah.. maaf kami harus meninggalkan mbah lagi.. But its not to forever.. Someday we will back to again to spend our best quality time together.. Time is not to be long if we are be patient.. We miss u mbah..

Senin, 14 September 2009

Ternyata bukan saya...

Sebuah offline massage masuk di ym saya, pesan singkat dengan ajuan sebuah nomer telpon dari sesorang yang belum begitu saya kenal. Dulu, saudara saya mengajukan sebuah email. Sekedar merekomendasikan satu nama untuk menambah daftar teman di ym saya. Saya fikir, mengapa tidak.. seseorang yang baik, pendidikan bagus, berharap nantinya mendapat hal yang bermanfaat. Just hope the best for my experience relations. Dan sekarang nomer ini adalah punya dia, seseorang yang dikenalkan saudara saya.

Secara personal saya kenal dengannya dari sekedar obrolan ringan dan foto-foto yang terbit di picture ym. Tidak ada yang istimewa. Obrolan ringan, seru di awal, kelamaan nge-Bete’in. Sesekali tidak ada koneksi obrolan, membuat cakap menjadi garing, tidak hidup dan kering. Beberapa saat, pertemanan ini begitu menyakitkan. Mungkin tidak dirasa olehnya, tiba-tiba hilang offline, suatu tindakan yang membuat saya berfikir bahwa itu suatu cara untuk tidak terganggu oleh saya.

Fine, saya terima itu.. bagi saya.. siapa yang bertindak menjauh dari saya, siapa yang merasa tidak nyaman berteman dengan saya. Saya persilahkan untuk pergi menghindar atau bahkan meinggalkan sama sekali, menjauh untuk selamanya, berlalu menuju kemasa dimana perkenalan belum di mulai. Kembali untuk tidak dikenal. That is one way for everyone who wants to take broke this relation.

Abaian dan ketidak pekaan orang lain terhadap keberadaan saya. Adalah bukti bahwa siapa yang benar-benar tetap berada di samping saya sampai saat ini, adalah mereka yang sejati. Sejati untuk tetap menemani saya, mendorong kearah perbaikan, atau bahkan sekedar ada untuk mendengarkan suara saya. Suara yang terkadang isinya tidak menarik dan tidak bermakna sama sekali. Saya belajar dari mereka: beberapa orang yang saya kira dapat memberi kekuatan dengan kata-kata bijaknya, malah justru menjauh dan hilang dari pandangan saya.

Meraka yang saya kagumi dan hormati dengan segenap hati saya. Hampir semuanya tidak menerima penawaran pertemanan saya, mereka datang sekali, lalu pergi. Dan belakangan saya sadari mereka begitu rajin dan bijaksana memberi keindahan dengan segala keluarbiasaan pelajaran hidupnya untuk orang lain.

Ternyata bukan saya yang menjadi tempat mereka berbagi semua kebijakan hidup yang mereka punya. Saya marah, marah untuk itu.. hanya.. jika difikir dengan logika. Saya tidak bisa memaksa seseorang untuk mau menerima pertemanan saya, meski mereka orang yang saya rasa cukup dewasa dan memiliki secure personality yang matang. Biarlah..

Maka, akhirnya saya mengerti kata-kata mba nenden dahulu.. Bahwa pada saatnya, saya akan bertemu mereka yang benar-benar menjadi pendamping kehidupan saya. Mereka tempat saya menangis, tertawa, terharu dan bangga akan hidup ini. Makasih mb.. terimakasih untuk balasan email yang sampai sekarang masih tersimpan rapih di inbox saya, dan menjadi bacaan rutin di saat hati ini penuh sesak dengan keluh..