Laman

Senin, 29 Juni 2009

Jakarta...

Apa yang anda fikirkan tentang kota Jakarta?? Metropolitan?? Gedung tinggi?? Antrian mobil mewah?? jika itu yang anda bayangkan, anda benar. Hari ini, saya memulai perjalanan bersepeda motor dari cempaka putih, terus ke kelapa gading, lanjut ke senen, kwitang. Hanya untuk tahu, semacet apa kota Jakarta. Saya tinggal di daerah Bekasi. Daerah yang keriwehannya sering membuat saya emosi. Namun ternyata, rusuhnya tak sebanding dengan keramaian ibu kota.

This is my first time around the Jakarta, gedung bertingkat, antrian mobil mewah, entah mengapa tidak meninggalkan kesan bagus di hati saya. Instead that condition makes me be headache. Bukan karena kemewahannya, hanya jika anda membayangkan Jakarta, jangan lupa bayangkan kondisi keruwetannya. Dan hari ini saya benar-benar merasakan itu, merasakan keadaan jalan ibu kota yang sangat menyiksa jiwa saya. u know..? That is make me crazy..

Ribuan kendaraan: mobil pribadi, motor dan angkutan perkotaan berdesakan berebut jalan. Udara panas ditambah polusi, asap hitam dari kenalpot metromini, motor yang sukanya nyalip, kelaksonan mobil berteriak dimana-mana. Saling berebut jalan dan main dulu-duluan. Sepanjang jalan, kiri kanan yang ada gedung perkantoran, mall dan ruko –ruko. Pohon rindang dengan udara sejuk, jangan harap ada di Jakarta.

Bagi anda yang berfikir hidup di Jakarta enak, kubur dalam-dalam fikiran anda itu. Meski Jakarta adalah kota metropolitan, dimana pusat perekonomian dan pemerintahan berada disina. Dalam doa, saya berharap jangan sampai takdir membawa saya terdampar dengan rutinitas kegersangan ibu kota itu.

Minggu, 14 Juni 2009

This is about my Think...

Salah?? Mungkinkah yang saya lakukan salah. Menjadi orang baik, memang sulit. Sukar menghilangkan rasa kesal untuk mengubahnya menjadi senyum. Jujur saja saya tidak mampu. Saya maklum, saat orang lain membuat hati saya kesal karena kesalahan yang tidak disengajanya. Itu, kesalahan- kesalah kecil yang semua orang punya.

Saya punya ruang untuk menjadikannya bukan masalah bagi saya. Cukup sampai pada batasan masalah kecil biasa, seperti temen yang laganya nyebelin, tidak sejalan pendapat dengan teman. Hal itu wajar menurut saya, hitung-hitung melatih untuk memahami perbedaan dan mencoba menerimanya.

Hanya, saat orang lain tidak lagi menghargai jarak pribadi, ketika batasan toleransi bertingkah sudah dilanggar. Saat niat baik dibalas dengan acuhan. Saat semuanya menjadi buruk karena sikapnya. Saya tidak lagi membiarkan itu, saya kira saya harus memutuskan sikap. Bukan untuk merenggangkan hubungan, hanya mengingatkan bahwa dia sudah keterlaluan.

Saya kira, semua dari kita hampir sepakat. Diabaikan adalah batas saat orang lain tidak lagi memprioritaskan keberadaan kita. Siapa yang suka dicuekin, siapa yang suka ditinggalkan untuk sesuatu yang lain. Saat, sapaan dan salam hangat ditanggapi dengan kepergian dan kediaman tanpa balasan kata. Siapa yang suka keadaan itu?

Wajarkah sikap saya? kini, saya menjadi paranoid untuk mereka yang tidak lagi menghormati saya, untuk mereka yang menganggap mengabaikan saya adalah hal yang tidak menjadikannya berfikir bahwa itu salah. Terus mengulanginya dalam waktu lama.

Sering beberapa teman saya mengeluh. Merasa perbuatannya tidak dihargai orang lain, saat tanda butuh kesendirian tidak lagi diperhatikan orang lain. Saathati mulai merasa sikap baik yang telah diberikan terasa menjadi dimanfaatkan. Saat itu juga saya menjadi marah, marah karena sering kali rasa tidak enak menghalangi mereka mengambil tindakan. Mengapa orang menjadi lemah karena alasan tidak enak, come on.. action to show them that you are not comfort about that.

Mereka yang salah atau saya yang kurang menerima sikap orang lain?? Please, tell me what I have to do??

Selasa, 09 Juni 2009

Beban ada karena saya yang buat...

Saya putuskan. Mending tidur dari pada pusing. Siang ini sebenarnya ada beban yang mengganjal fikiran saya. Masalah terbesar yang selalu muncul di setiap tugas analisis adalah cari bahannya.

Meski perpustakaan menjadi tujuan pertama saya, buku yang dicari tiba-tiba menjadi langka. Otak saya bekerja keras untuk jeli melihat setiap deretan judul di rak perpustakaan. Hati saya semakin mendesak, meminta agar buku segera ditemukan. Keadaan emosional saya semakin panas. Kepala berfikir, mata mencari dan hati berteriak, “cepet temukan bukunya”

Yang dicari, tak kunjung ketemu. Mulailah muncul kekecewaan. Saya kecewa karena apa yang saya inginkan tidak dengan segera dapat saya temukan. Buku yang dicari tidak nongol juga. Di sisi lain, saya memiliki tanggugnjawab untuk mengerjakan tugas ini dengan seriously. Dorongan itu dipacu dengan harapan saya untuk bisa mendapat nilai yang bagus.

Karena ketidakmudahan ini kemudian membuat fikiran saya berfikir betapa sulit tugas ini. Dengan cepat saya memproduksi asumsi dalam diri saya, dan terus mengeluhkan dalam hati “iiihh.. susah banget sih tugasnya”. Tiba-tiba kepala saya menjadi berat. Karena saya terus mendesak fikiran saya dengan bayang- bayang ketidakmudahan dan kesusahan, itu membuat beban saya menjadi semakin memberat.

Berusaha melupakan, dan menjadikan tugas ini sebagai sesuatu yang menggembirakan adalah perkara sulit sekarang ini. Beberapa menit perhatian saya tertuju dengan aktifitas yang saya kerjakan di kost. Seketika saya teringat lagi dengan beratnya tugas ini. Saya murung lagi.

There are always two sides to everyting, begitu kata buku yang pernah saya baca. Selalu ada dua perspektif dalam diri untuk melihat masalah. Untungnya, di lain sisi diri saya, selalu berusaha membuat saya tenang dengan anggapan-anggapan yang mengatakan bahwa tugas ini tidak berat.

Aah’ dari pada pusing mending saya tidur. Semuanya pasti bisa saya kerjakan! Pasti mala bisa…