Laman

Kamis, 24 Juni 2010

When...

Bolehkah saya memaki
Saat semua terasa tidak adil
Bolehkah saya tersedu ketika kejadian terus memojokkan kesabaran
Bisakah membanting pecah untuk memberi kenyamanan
Ingin mencabik dan meninju remuk semua ini
Keadaan yang sangat mengganggu
Maraah!! Amarah!!
Saya sendiri
Menumpuk perkara gelisah dan penilain orang
Damai? Tentu tidak
Terlihat, semua terlihat saat memejam mata dan menoleh kedalam hati
Disana, ada berjuta sesak kemarahan yang ingin berteriak
Mengapa?! Apa?! Sial?! Mengapa?! Mana?! Mengapa?! Mengapa?! Mengapa?! Bisakah?! Selalu!! Mengapa?! Mana?! Mana?! Mana?! Kapan?! Mengapa?! Tidak bisakah?! Mengapa?!
Tiba-tiba, saat marah
Saya tersadar, keadaan adalah apa yang hati katakan
Sedih membawa kesedihan
Bahagia dan optimis membawa keringanan
Ada satu pengetahuan
Tentang pengelolaan hati membawa suasana diingingkan
Cahaya mulai masuk, dicelah kelam awan hati
Membuka pandangan dawai
Membawa wangi diribuan keresahan yang menjulang
seperti pohon di hutan perawan
Adanya dihati sebagai jagat dengan perasaan sebagai isinya
Karena saya manusia
Ada pertimbangan
Ada pikiran, menghadirkan Bahagia, bangga, bersyukur, sedih, kecewa, marah dan duka
Autistik jika tidak berpikir dengan logika
Hidup memang seperti itu
Mau menangis dan merengak?
Meminta dan berharap
Bahagia saja yang datang
Mana indah hidup ini
Lupa y... ada penjaga keseimbangan
Sedih berarti diingatkan
Bahagia juga diingatkan
Jadi...
Coretan ini tak ingin usai
Sampai jari tak lagi mampu mengangkat



Mala Fajriyah

That's Competition

Saya percaya dibalik kerjakeras akan ada hasil. Cuma terkadang sering lupa bahwa ada proses disetiap cerita, ada jalan sebelum mencapai tujuan. Rasa kecewa, dipicu oleh harapan yang terlalu tinggi, sehingga saat apa yang berjalan tidak sesuai keinginan, dengan mudah memancing kekesalan dan kemarahan. Berjalan sendiri tidak serumit saat harus berdampingan dengan orang lain. Seorangan, tentu hanya membawa diri dan fikiran sendiri, keputusan dibuat sesuai pertimbangan dan pengetahuan sendiri. Keinginan dan tujuan saya tentu berbeda dengan teman-teman. Itu sebabnya mengapa menghadapi tantangan yang sama, bisa berbeda menyikapinya. Semua tergantung tekanan yang dibuat dan setinggi apa harapan yang diinginkan. Sedih sudah pasti, saat harus menerima kenyataan bahwa saya dan teman-teman mesti kalah secara normative karena trouble pihak lain.

Hal kalah disadari setiap kita sebagai suatu proses wajar, bukan tidak adil atau tidak sayang. Semuanya meninginkan menang, yang menjadi sulit ketika kemenangan bukan lagi diharapkan oleh peserta, tapi pihak lain yang terlibat melatih kemampuan kami. Bukan beban, hanya sebagai suatu rasa yang tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab, memberikan yang terbaik adalah tugas kami, mempersembahan capaian yang baik juga menjadi tujuan kami. Tetapi ketika semua keinginan itu belum tercapai, apa bisa waktu diputar? Mengulang untuk merubahnya sesuai harapan? Agar rasa bersalah ini terkurangi? Sayangnya tidak, maka yang tercipta adalah perasaan yang begitu tidak enak, bersedih dan terasa berat memnpertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberi. Hatur sembah maaf, tidak henti ingin terus diucapkan ketika belum bisa membanggakan dengan sebuah kemenangan.

Saya pun merasa garang, itu terasa kelam, saat penilaian bukan lagi berharap pada kemampuan. Nama besar dan darimana kami berasal rupanya masih menjadi point besar untuk menilai. Terlalu berlebihan mungkin penilaian saya, tetapi inilah suara hati yang ingin saya teriakkan. Lagi-lagi karena penampilan! tidak ada aturan untuk kami bertanding hanya dari asal muasal. Apa yang diinginkan para judgment? apa yang menjadi harapan pengambil keputusan! Jika bukan lagi kedalaman study menjadi acuan, lantas apa??. Sudah pasti kami kalah, karena kerja keras dan pendalama materi menjadi siasia. Ditambah yang memberi apresiasi harus rela kami tanggalkan.

Aahh.. sudahlah, meski ini berakhir dengan kekalahan, bukankah yang maha kuasa mengatur kejadian sesuai dengan kemampuan umatnya. Usaha dan kerja keras sudah dilkaukan, hasil semunya diserahkan pada pemilik bumi dan pencipta semua ilmu pengetahuan.

Just cover

Dulu, ada sebuah nasehat “jika ingin orang lain melihat kita, tampilkan diri dengan ilmu dan kemampuan “ namun, untaian kalimat yang saya yakini ini mulai memperlihatkan kenyataan yang berbeda. Saya kira, kemampuan dan keahlian menjadi satu-satunya penilaian orang agar mau memberi kepercayaannya kepada saya. Rupanya saya salah. Lagi-lagi faktor tampang menjadi hal yang membuat saya kembali geram. Mau tahu alasannya? Saya tidak membenci mereka, tidak pula ingin kufur nikmat dengan apa yang telah Allah ciptakan kepada saya. Menjengkelkan saat kesempatan diberikan bukan lagi berdasarkan kemampuan yang dipunya. Jika harus kecewa karena kalah dalam bertanding, saya terima, tapi kalau harus ikhlas melihat penolakan karena faktor tampang! ini yang paling saya benci.

Mengapa menjadi begitu ringan menilai orang hanya dari tampang, bisakah tampang menjamin kehandalan seseorang? bisakah eksklusifitas dan kecantikan memberi garansi bahwa merekalah yang terbaik. Lantas, dimana kompetensi bisa menjadi tiket untuk diterima?? Lalu, kemana apresiasi yang diberikan? untuk mereka yang gigih berlatih? saatnya kesempatan datang, harus rela tersingkir karena peluang diberikan kepada yang elok rupanya.

Adilkah ini? Saya menjawab , sangat tidak adil!
Diselang waktu, saya mencoba meraba mana hikmah dari semua ini. Hanya ada satu jalan bisa saya terima, bahwa jika langkah ini tertutup, akan ada pintu pengganti, yang jauh lebih indah. Apakah yang cantik pasti memiliki kemampuan?? Lantas mengapa menjadi begitu percaya, mereka yang diberi kesempatan tanpa tes!!

Senin, 14 Juni 2010

U Are....

Agenda ini mempertemukan saya dengan dia, sosok yang pembawaannya begitu tenang dan mengagumkan.Melihatnya begitu mempesona. Tak banyak bicara, jarang menyapa, sikap dan candanya kadang gk penting, tetapi bagi saya sungguh berbeda. Rupanya tak rupawan, namun sangat menenangkan. Tingkahnya jayus, bagi saya itu bagus. Candanya tidak lucu, tapi membuat saya betah menatapnya. Pendiam bukan berarti membosankan. Sosoknya begitu dewasa, runtutan kata yang dipilih sangat tertata. Pendapatnya masuk akal dan logika. Menunjukkan bahwa dia istimewa.

Jumat, 04 Juni 2010

Hilang Tumbuh Tenggelam...

Pengalaman silih berganti, tumbuh baru, mati kembali. Yang satu hilang, lain cara datang. Teman pun begitu, satu tiba, kemudian tenggelam, timbul lain orang, hilang lagi jauh memburam, bersama keseimbangan yang tertendang. Kadang, dia yang tak terkira, berubah menjadi teman. Mereka yang tersayang, pindah, jadi yang tak bernilai. Perbedaan diterima hanya diawal, saat bosan, ketidaksamaan menjadi alasan. Sakit hati kini jadi hitungan, membicarakan kekurangan teman kepada banyak orang. Ada yang salah dengan ketidak samaan?? Kamu, mereka dan saya adalah orang yang memiliki pandangan yang berebeda. Hanya saja, kemampuan menerima, itu yang menjadi persoalan. Belum lagi kematangan menyampaikan pertentangan, itu penting untuk dilakukan.

Saya melihat ketidak cocokan sebagai keadaan yang selalu ada, harusnya menyikapi dengan satu penerimaan. Tidak ada perlawanan yang tajam apalagi menghantam, jika tidak sepandang, tampilkan argumen yang menantang bukan hujatan tanpa arang. Buat apa emosi yang memuncah, jika hanya membuat permusuhan yang datang. Adakah hati yang terpecah kembali rapih tanpa tanda patah?? Hati utuh, jika dibanting pecah, tidak lagi menjadi mulus, menjatuhkan orang dengan nada menantang, bisa Menentramkan?? atau justru membangunkan pertahanan?? Ujungnya bertengkar tak berkesudahan. Berbaik disukai semua orang, berjahat dijauhi orang-orang. Pandai menilai, sungguh dilihat tidak mengenakkan, berteori tentang apa yang seharusnya orang lakukan. Tapi lupa, lupa untuk memandang, kedalam diri, sudahkah benar.

Beberapa hari lalu, seorang teman menelepon, mengingatkan saya tentang pribahasa tongkosong nyaring bunyinya. Kami sependapat. Heran, mengapa mengkritisi menjadi kegemaran. Hebat, melulu salah, mengoreksi dengan suara lantang, berfikir negatif dan pesimis. Coba, beri solusi. Tapi, muncul satu fikiran lain cabang, kayanya... penting juga ada poros suka mengkritik, jadi ada yang seru-seru. Teman saya membantah, di balik telephone, jaraknya kiloan meter disana. Yang salah, mereka yang menolak, selalu berdiri diketinggian amarah. Menonjolkan tanggapan dan menjatuhkan lain pendapat. Kadang, yang kalah hanya karena kurang garang, akhirnya memilih diam. Dan mereka menang karena berani menginjak lawan. Etika, adakah dipegang??

Jalan menunjuk saya untuk mendekat kepadanya, kepada mereka yang tak senilai. Ini yang diawal saya bilang, teman yang tak disangka, datang, mendekat dan memandang. Karenanya, saya siap dengan semua keyakinan yang saya pegang, dengan cara pandang saya menilai dan mencerai ketidak nyamanan hati. Meletakkannya jauh di awang-awang. Berdampingan dengannya untuk satu misi, lihatlah misi itu, jangan lirik hal menyebalkan, yang dirasa berlebih-lebihan. Buang saja, terima kemungkinan tidak mengenakkan sebelum dia datang. Dan jadinya, siap dengan perubahan awan yang mungkin datang, awan cerah ke mendung kemudian badai. Perasaan yang diserang jadi tenang, karena sadar bahwa ini akan become.

Saat perkenalan sebatas penilaian kulit

Setiap pengalaman memberi satu pelajaran baru, pun itu pengalaman baik atau pengalaman buruk, keduanya tidak ada yang sia-sia selama diresapi dan dimengerti sebagai sebuah proses untuk menjadi lebih baik.

Beberapa hari lalu, saya mengikuti acara seminar nasional, pesertanya dari berbagai kampus di beberapa kota. Masing-masing memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda-beda. Tampilan yang disajikan, apa yang dikenakan serta apa yang dibawa menjadi brand masing-masing individu. Selang beberapa lama, layaknya sebuah pertemuan dengan orang-orang yang baru kenal, mulailah saya mencoba membangun keakraban dengan memperkenalkan diri dan berbincang ringan ala perkenalan dengan orang baru. Ada yang menyambut ramah ada pula yang terlihat sekedar menanggapi tanpa hati.

Untuk mereka yang menanggapi setengah hati, saya maklum dan cukup mengerti bahwa tidak semua orang akan menerima tawaran persahabatan. Mereka dan saya bebas memilih mana individu yang dijadikan teman dan mana yang tidak. Namun kadang, ada sikap-sikap penerimaan yang saya tidak setujui, orang-orang yang melihat dan menilai hanya berdasarkan eksklusifitas dan kecantikan. Mereka yang bergaya eksekutif menjadi lebih mudah diterima, dan mereka yang berpenampilan kurang eksklusif mendapat hambatan dalam penerimaan yang baik.

Entah apa yang dipercaya, bisakah penampilan menjamin kesuksesan orang, bisakah bawaan mewah yang ditenteng menjadi garansi bahwa orang itu berkompeten? Saya kira tidak. Saat perkenalan dipahami sebatas pergaulan, sehingga nilai-nilai eksklusifitas dan kecantikan menjadi kebanggaan tersendiri, maka yang muncul adalah penerimaan dan penolakan berdasarkan tampilkan. Padahal esensi yang lebih jauh dari perkenalan adalah membangun relasi. Perkenalan yang dibangun merupakan investasi untuk jangka panjang. Orang-orang yang menerima saya dengan baik tentu akan tersimpan diingatan saya, suatu saat ketika mereka datang membutuhkan pertolongan, dengan senang hati akan saya bantu. Sebaliknya siapa saja yang telah memberi kesan kurang menyenangkan, suatu hari mereka datang dan meminta bantuan bisa jadi saya menolaknya karena redintergrasi kejadian masa lalu, yang kurang bersahabat.