Laman

Sabtu, 21 Mei 2011

Ditantang jadi enterpreuner…

Ingin ku hirup dalam-dalam bau aroma ini, wangi khas ketika langit akan turun hujan. Ingin lama-lama ku rasakan terpaan angin ini, angin yang datang sebelum hujan turun. Damai, sungguh damai.

Hi, kamu yang di sana!! Jangan!! jangan tutup pintu itu, jangan halangi aroma ini, jangan halangi angin itu. Biarkan dia masuk. Mendatangi setiap rasa yang ku rasa. Orang yang ku teriaki menurut. Sambil terpejam ku coba hidupkan panca indera ku yang lain, telinga dan hidung, ku biarkan bekerja, mendengarkan dan menghirup dalam-dalam udara ini. Sepuas-puas mereka mau. Ku biarkan. Rupa-rupanya… dengan begini dapat sekejap mengendorkan syaraf-syaraf berfikir. Begitu sejuk dan begitu tenang, aku pasrah. Setidaknya ada Yang Maha Kuasa bersamaku.

Belakangan memang aku gelisah, berharap semua impian dapat segera datang. Waktu semakin menipis, sedang tanda tak kunjung datang. Seorang teman tadi pagi mengingatkan aku bahwa mengapa mesti menghawatirkan pekerjaan, mengapa tidak menerapkan entrepreneur dalam hidup ini, sambil terus panjang lebar ia menjelaskan, bahwa mengapa pemuda Indonesia hanya berfikir mencari kerja sedangkan keseimbangan ekonomi bukan hanya melalui usaha makro tetapi juga melalui sector mikro. Dengan masih menggebu, teman saya terus berbicara, saya mendengarkan, katanya dia sudah merancang sebuah proyek usaha di kampung asalnya sana, membuka lapangan pekerjaan adalah impian dia.

Saya teringat, teman saya yang satu ini memang memiliki beberapa proyek besar dalam hidupnya, di pekan lalu, ia juga sempat menjelaskan kepada saya bahwa nantinya ia akan membangun sebuah rumah impian di bawah kaki gunung dengan kolam renang dan perpustakaan pribadi yang tenang. Saya mengamini harapan dia waktu itu karena saya percaya bahwa ia mampu. Dan kini, ketika ia kembali menyarankan saya untuk menjadi seorang entrepreneur, rasa-rasanya saya tergoda. Cuma, pagi itu saya masih me-mending pembicaraan lebih lanjut tentang buka usaha. Modal yang menjadi kendala saya, mau pinjam ke orang tua, kayanya sedikit berat, malu. Sampai disitu - selesai, saya tidak lagi memikirkan.

Siang harinya, ketika sedang nonton tv, ada iklan majalah elshinta yang menyinggung tentang pengusaha sukses, tak disangka tak diduga, orang tua, ibu saya yang ada disamping, nyeletuk menantang saya untuk buka usaha. Wah.. laksana angin mendayu, segera saya timpali tawaran ibu saya itu, memastikan maukah beliau memberi modal?? Berkali-kali saya pastikan, benarkah?. Dengan mantap ibu saya kembali menantang, oke gampang modalnya, sekarang mau usaha apa?? – waduh.. saya bingung mau usaha apa, orang terfikirnya baru tadi pagi… tidak mau asal sebut, takut sang pemilik modal mundur karena pilihan saya tidak tepat, akhirnya saya bilang, nanti saya fikirkan dulu usaha apa yang berprospek di bekasi ini… lagi-lagi saya memberendong ibu, memastikan benarkah mau memberi saya modal??? Beliau berkata.. iya’ anak ku…

Dan kini….. ada yang bisa memberi saran..?? usaha apa yang berprospek di bekasi sini…??? Tik.tik.tik.tik.tik….. –berfikir

Minggu, 15 Mei 2011

Yogyakarta, Abadi Memori

Siang hari di Jogjakarta sebenarnya sama saja dengan siang-siang kemarin, namun untuk kali ini ada satu rasa yang berbeda. Perasaan sedih karena sebentar lagi akan meninggalkan kota yang telah memberikan aku banyak pelajaran, bukan hanya dari perbedaan bahasa dan keta’adziman warganya kepada keraton, tetapi juga memperkenalkan ku kepada kekayaan ragam budaya yang menyatu, yaitu warna yang dibawa mahasiswa-mahasiswa dari daerah-daerah lain.

Aku sudah hampir empat tahun tinggal di kota pelajar ini untuk kuliah, bertemu dengan teman-teman dari sabang sampai merauke, dari timur sampai barat Indonesia. Sungguh sebuah keberagaman sosial yang multikultur. Multikultur tidak hanya dalam percakapan tetapi juga multikultur mengenai pahaman emosi. Mulai dari cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan masalah, serta kebiasaan-kebiasaan keseharian yang juga berbeda.Dulu, saat memutuskan kuliah di Jogja, pertimbangan terbesar adalah karena jauh dari rumah. Ingat betul, bagaimana saat itu aku tidak sabar ingin pindah ke jogja. Menanti-nanti datangnya bulan Juli.

Setibanya waktu itu datang, dengan masih polos, aku turun dari kereta membawa koper dan tas di punggu, menenteng kresek dan tas isi, untuk pertama kali menginjakkan kaki di kota tujuan wisata ini.

Di stasiun tugu, aku bergumam, melihat arsitek bangunan stasiun sungguh mempresentasikan sebuah daerah baru yang akan sangat menarik. Semakin jauh meninggalkan stasiun, budaya jogja begitu terasa, tukang becak menghampiri setiap orang yang bergegas keluar, berebut menawarkan jasa, namun tetap sopan. Di jalan raya, identitas nomer kendaraan bermotor begitu beragam, sebuah hal yang jarang ku temui di Bekasi sana. Jalan lebar karena lengang. Sesekali ramai di depan pasar tradisional. Sangat ramai tapi tak berdesak-desakan. Sungguh Jogja yang tenang kala itu dan semoga sampai nanti.

Mei 2011, Tiga tahun tujuh bulan sudah aku di Jogja, dan kini saatnya untuk kembali ke kampung halaman, mencoba melihat hidup pada tingkatan selanjutnya yaitu profesionalitas. Dalam batin, meski sedih harus meninggalkan teman dan segala kenangan tentang Jogja, inilah hidup, tidak berhenti pada satu tingkatan, akan berlanjut ke tahap lain. Meski begitu, Yogyakarta adalah satu memori yang tidak akan terlupa, selamanya...