Laman

Kamis, 30 Desember 2010

Aku Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta, Kali ini kepada Fathan Mubarak dalam “Melawan Jarak”. Jangan kaget dan jangan juga lekas berkata “cieee”... Aku memang selalu jatuh cinta, pasti jatuh cinta, setiap selesai membaca buku, tapi tidak semua pengarang buku aku cintai- hanya buku-buku yang ku baca di saat pikiran memanas dan si penulis memberi ketenangan serta kekuatan kepada ku, disanalah aku akan jatuh cinta. Cinta tak bertuan, ah.. lagi?!, aku kesemsem dengan Fathan Mubarak, buktinya kalimat itu, kalimat “Cinta tak Bertuan” milik Ftan, aku gunakan di tulisan pribadi ini. sudahlah, tidak usah menduga-duga rasa cinta ku..- biar tidak penasaran, akan aku katakan dimana dan mengapa aku jatuh cinta..

Ini yang patut aku syukuri, tiap hati dan perasaan ruwet, semrawut, masih ada kebenaran hati yang mengantarkan aku menuju perpustakaan, menggerakan tangan menyentuh deretan buku favorit, di pojok ruangan itu, di rak buku yang banyak menawarkan pemikiran dan resapan hidup itu, biasanya aku melabuhkan kekusutan pikiran. Disanalah aku kerap bertemu dan jatuh cinta dengan sosok-sosok baru dari beragam usia. Mulai yang masih lajang sampai yang sudah beranak cucu. Semua tidak lepas dari perburuan cinta ku. Termasuk Fathan Mubarak. Dialah orang terbaru yang aku sukai, dan bukunya masih ku baca sampai tulisan ini aku torehkan. Cinta kepadanya tumbuh meski baru membaca bukunya di halaman 35. Sudut pandang, nalar, kepandaian dan luasnya pengetahuan, ditawarkan olehnya, dan itu sungguh, sungguh memberikan magnet yang mampu memberdirikan ku dari perasaan yang sedang takut akan semua berjalan tidak benar.

Jika banyak penulis mengatakan, bahwa membaca buku bukan sekedar menambah pengetahuan tetapi juga sebagai bentuk rekreasi tanpa mengeluarkan biaya dan tenaga pergi ke suatu tempat, aku setuju. Hingga kini, aku sudah berekreasi ke paris perancis melalui (kalau tidak salah, judul bukunya “Rantau”). Pernah juga aku berkunjung ke RS di Tiongkok melalui “Dahlan Iskan Ganti Hati”, menonton pertandingan Valentino Rossi melalui ”Valentino Rossi”, merasakan gaya hidup dan kerja ala jakarta melalui ”Lavender Green”, dan kalau kalian tahu, Kota-kota dan negara-negara itu masih sangat terasa dalam hati dan ingatan. Oh iya, aku ingat, tentang cerita Fathan mengenai masa sekolahnya dulu, kerjanya nongkorong dan membuat puluhan undang-undang yang berlaku hanya untuk kelompoknya, sebuah peraturan yang tidak tercatat dan dirapatkan di DPR-MPR, namun aku percaya, pembuat UU, Ftan dan temannya bertanggungjawab atas peraturan yang mereka buar. Semoga!. Fathan benar, masa sekolah adalah masa dimana tanggungjawab masih bisa dikesampingkan, masa dimana teriakan masih sering menjadi solusi. Kalau boleh diulang, aku ingin kembali dimasa itu, massa yang mudah saja meluapkan kejengkelan dengan marah-marah. Massa yang setiap permasalahan dapat dengan mudah di ekspresikan tanpa banyak pertimbangan. Tapi, waktu sudah membawa ku di usia ini, siapa yang bisa membantahnya?? Merajuk-meminta, agar dikembalikan ke masa sekolah, waktu tak akan memperdulikan!! Memang siapa aku?! Sampai berani merajuk waktu!!

Fathan juga menyusun kata, tentang kealpaannya jika harus mengira dan menduga apa yang dipikirkan Iyank-nya. Ah’ Ftan, betapa baik kamu ini, jika saja semua orang sesederhana itu untuk tidak menafsirkan gerakan orang seenaknya, mungkin konflik tidak akan menegang. Jujur saja, aku pun belum bisa seperti kamu Ftan, namun setidaknya sudah ada keinginan untuk mencobanya. Tahu kah kamu, betapa pilunya aku saat sebuah senyuman dimaknai seolah aku merendahkan?! Dan dengan seketika, saat ada orang lain yang bisa mendengarkan datang, dia ceritakan senyuman-ku itu (yang dianggapnya merendahkan) kepada orang lain? Ah.. siapakah yang salah, senyumku, atau memang sebelum dia melihat senyum itu, sudah ada di hatinya perasangka aku akan merendahkannya?! Bukankah sering kita keliru hanya karena sebelumnya pikiran sudah membuat kesimpulan sendiri? Rasanya ingin langsung berteriak memberi solusi, tapi... aku sudah bukan lagi di masa sekolah. Atau apakah mungkin karena aku murah senyum, sehingga sunggingan bibirku membentuk lekuk yang nampak merendahkan?? Atau... memang saat itu aku sedang merendahkan dia?! Dengan senyum?? Tegakah aku?? Pusing! Apa pun itu, Buat apa aku terlalu mempermasalahkannya, toh, ini bukan permasalahan serius yang harus diributkan. Jika dia begitu cepat mengambil tindakan mengadukan perasaannya kepada orang lain, tanpa mengendapkannya sebentar saja untuk direnungkan, aku kira akan lama baginya untuk dapat memaknai perbedaan. Meski ada keinginan untuk membalas, biarlah, aku ikhlaskan saja, bukankah aku berkali-kali berteriak lantang agar suporter Indonesia tidak membalas tindakan negara tetangga di Stadion?

Kelak waktu akan memberi jawaban mana yang lebih enak, kalah dengan ketenangan, atau menang tapi membawa ketidak nyamanana dalam hati.

Jumat, 17 Desember 2010

But its not for all of the time

Sometimes life is not fair. Nasehat yang pernah saya dengar, waktu itu, saat saya dan beberapa teman harus bersabar untuk sebuah keputusan yang nampak tidak adil. Simpel, namun sungguh membuat kami tersadar, itulah hidup, dinamika yang diberi kadang membuat air mata, kadang membawa tawa, kadang mengundang benci dan amarah. Sayangnya, manusia terkadang egois. Tertawa terbahak-bakah seolah tawa tak akan datang lagi, menangis membabi buta seolah hidup sunggu menderita, dan begitu benci meraung-raung seolah keadilan tidak ada sama sekali. Nasehat itu adalah sebuah fakta yang menurut saya tidak bisa lepas dari kehidupan. Bukan hanya untuk sebuah keputusan dalam kompetisi, kadang kala masalah sosial, cinta, keluarga dan toleransi juga nampak tidak adil. Because sometimes life is not fair, but its not for all of the time. Kebaikan tentu akan muncul, meski harus disembunyikan dahulu. Itu hal itu, banyak pepatah yang membenarkan.

Berteriak, tertawa dan menangis, bukan tidak di perbolehkan, berteriaklan saat kebenaran harus dikatakan. Tertawalah saat hati membutuhkan, dan menangislah untuk memberi kepuasan kepada batin. Namun semuanya bukan untuk dilakukan secara berlebihan. Terlalu bahagian, terlalu sedih, terlalu marah, memberi sumbangsih atas kebekuan hati.

Tulisan ini bukan maksud untuk menggurui, bukan, bukan sama sekali untuk itu, hati dan pikiran saya juga masih sering khilaf, sedih terlalu sedih, senang terlalu senang, dan marah terlalu amarah. Saya hanya ingin menuliskannya, seperti kata Isaac Newton menulis untuk berfikir, menulis untuk bermeditasi. Just keep pushing on.

Minggu, 12 Desember 2010

Kebanjiran do'a...

Jum’at 10 Desember, hari dimana saya di banjiri banyak doa, baik dari keluarga, teman bahkan dari mereka yang tidak saya kenal secara personal melalui facebook. Ringtone sms saya berdiring. Lalu lintas wall dipenuhi ucapan. Hari ini saya kebanjiran do’a. Ibu membangunkan saya di pagi buta dengan smsnya, mendo’akan agar anaknya sukses. Disusul sms dari kakak, sama, memberi do’a yang terbaik untuk adiknya. Kalau seperti ini, rasanya ingin setiap hari adalah hari lahir, agar do’a terus menyertai saya di sepanjang tahun. 2010, untuk yang kesekian kali, saya berhasil melalui waktu dengan tetap hidup, sampai menginjak di usia yang sekarang, rasanya begitu sempurna pemberian yang diberi Sang Maha Kuasa. Sedikit kesempatan telah di beri, sedikit dinamika sudah diperlihatakan, sedikit hikmah sudah dimasukkan. Namun Itu semua masih belum usai, karena masih banyak rahasia hidup yang akan Tuhan pertunjukkan kepada saya di hari esok.

Tidak ada yang mencolok dalam perayaan hari lahir, bukan lagi dengan topi ulang tahun, bukan dengan tiup lilin, bukan pula ramai-ramai sambil bertepuk tangan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Semuanya mulai berubah. Hidup ini memang harus berubah, karena perubahanlah manusia bisa hidup, termasuk perubahan umur, semakin meningkat usia, gaya perayaan ulang tahun juga berubah. Syukuran bukan lagi menyebar undangan membuat pesta, menumpuk gunungan kado dari teman-teman. Bukan, bukan seperti itu lagi. Kali ini hanya makan-makan sederhana, dengan orang-orang terbatas. Sebagai sebuah ungkapan terimakasih atas kerjasama dan dorongan yang telah di alirkan kedalam hidup saya selama ini, dengan mereka-mereka yang tentunya special hadir dalam perjalanan hidup saya. Memberi tawa, memberi kebahagian serta mengajarkan untuk berbagi.

Terimakasih untuk semua pemberian kalian teman, atas do’anya yang begitu tulus, mendo’akan yang terbaik untuk saya, bahkan ada yang mendo’akan semoga nantinya saya bisa menjadi jubir, jubir kepresidenan mungkin, saya hanya mengamininya, meski terlihat terlalu tinggi, toh itu adalah do’a jika malaikat dan Yang Maha Kuasa mengamini siapa yang bisa menolaknya. Terimakasih atas do’anya, teman. Terimakasih juga atas buku yang kalian berikan “Lavender Green”, terimakasih banyak, bukunya sudah tamat saya baca. Meski saya seram juga membaca buku itu, hidup yang dijalani valen dan orang disekelilingnya sungguh tidak ingin saya alami. Namun terimakasih, terimakasih karena telah memberikan saya buku yang bisa saya nikmati dan memberi pelajaran yang berharga.

Thank u so much,
With love

Senin, 06 Desember 2010

Better Late than Never...? Si...

Tadi malam tepatnya pukul 00:35 WIB, film berjudul social network selesai saya tonton. Film yang bercerita bagaimana Mark Zuckerberg penemu facebook menemukan ide, mengembangkan, mendisaign dan meluncurkan thefacebook (nama awal) berawal dari realitas alamiah yang dijalani dan diinginkan kebanyakan orang. Sampai sekarang semenjak peluncurannya tahun 2003, facebook telah berhasil mengantarkan Mark menjadi remaja muda yang kaya raya. Saya percaya hal ini bukan sekedar keberuntungan, mark memiliki keahlian dan pengetahuan yang sangat baik mengenai jaringan komputer, menerobos sistem keamanan situs dari asrama lain dan menjadikannya sebuah awal kepopulerannya. Mark hanya membutuhkan pemantik realitas dan mengambilnya menjadi sebuah prodak baru.

Saya ingin melihat film ini dari sudut yang berbeda, bukan tentang kejeniusan Mark yang telah mengantarnya hidup dalam milyaran dolar. Bagi saya film ini tidak sekedar sejarah perjalana Facebook. Ada satu nilai yang coba saya ambil, tentang bagaimana seharusnya mahasiswa menyandang statusnya dengan benar-benar mendalami ilmu dan menemukan hal-hal baru. Film ini benar membeli satu pencerahan tentang apa yang sedang saya fikirkan belakangan ini. Bahwa kebanyakan mahasisiwa, termasuk saya (dulu) menjalani hari-hari kuliah dengan hanya menjalani kegiatan rutin, mendengarkan, menyelesaikan tugas, membaca referensi sekedar untuk memenuhi kewajiban tugas. Bukan mendalami dan memahaminya dengan betul-betul. Sehingga apa yang diterima, apa yang di dengar dan apa yang dilihat hanya menjadi lalu lintas belaka. Saya dulu, saat masih menjadi mahasiswa semester awal sampai pertengahan, bahkan sampai sekarang di semester penghujung, tidak bersifat mandiri, kesadaran akan esensi kuliah masih begitu rendah. Saya tidak kaya teori, tidak kaya informasi dan tidak kaya bacaan, itu membuat saya menjadi mahasiswa miskin argumen dan miskin pemikiran baru. Padahal, di awal semester saya telah menancapkan target hidup yang begitu tinggi, memikirkan dan menuliskannya dalam sebuah tulisan. Kini saya sadari,ternyata aksi untuk mencapai impian tidak setinggi cita-cita yang telah di pampang.

Telat selalu datang belakangan, rasa membutuhkan terasa di akhir masa kuliah. Baru di saat ini saya merasakan bahwa membaca buku itu sangat penting. Semakin banyak buku yang di baca, semakin kaya pandangan, dan semakin luas cara berpikir. Sayang seribu sayang. Di akhir masa kuliah saya baru mulai mendisplinkan diri untuk rajin membaca. Tapi.. bukankah telat lebih baik dari pada tidak sama sekali.