Laman

Kamis, 30 Desember 2010

Aku Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta, Kali ini kepada Fathan Mubarak dalam “Melawan Jarak”. Jangan kaget dan jangan juga lekas berkata “cieee”... Aku memang selalu jatuh cinta, pasti jatuh cinta, setiap selesai membaca buku, tapi tidak semua pengarang buku aku cintai- hanya buku-buku yang ku baca di saat pikiran memanas dan si penulis memberi ketenangan serta kekuatan kepada ku, disanalah aku akan jatuh cinta. Cinta tak bertuan, ah.. lagi?!, aku kesemsem dengan Fathan Mubarak, buktinya kalimat itu, kalimat “Cinta tak Bertuan” milik Ftan, aku gunakan di tulisan pribadi ini. sudahlah, tidak usah menduga-duga rasa cinta ku..- biar tidak penasaran, akan aku katakan dimana dan mengapa aku jatuh cinta..

Ini yang patut aku syukuri, tiap hati dan perasaan ruwet, semrawut, masih ada kebenaran hati yang mengantarkan aku menuju perpustakaan, menggerakan tangan menyentuh deretan buku favorit, di pojok ruangan itu, di rak buku yang banyak menawarkan pemikiran dan resapan hidup itu, biasanya aku melabuhkan kekusutan pikiran. Disanalah aku kerap bertemu dan jatuh cinta dengan sosok-sosok baru dari beragam usia. Mulai yang masih lajang sampai yang sudah beranak cucu. Semua tidak lepas dari perburuan cinta ku. Termasuk Fathan Mubarak. Dialah orang terbaru yang aku sukai, dan bukunya masih ku baca sampai tulisan ini aku torehkan. Cinta kepadanya tumbuh meski baru membaca bukunya di halaman 35. Sudut pandang, nalar, kepandaian dan luasnya pengetahuan, ditawarkan olehnya, dan itu sungguh, sungguh memberikan magnet yang mampu memberdirikan ku dari perasaan yang sedang takut akan semua berjalan tidak benar.

Jika banyak penulis mengatakan, bahwa membaca buku bukan sekedar menambah pengetahuan tetapi juga sebagai bentuk rekreasi tanpa mengeluarkan biaya dan tenaga pergi ke suatu tempat, aku setuju. Hingga kini, aku sudah berekreasi ke paris perancis melalui (kalau tidak salah, judul bukunya “Rantau”). Pernah juga aku berkunjung ke RS di Tiongkok melalui “Dahlan Iskan Ganti Hati”, menonton pertandingan Valentino Rossi melalui ”Valentino Rossi”, merasakan gaya hidup dan kerja ala jakarta melalui ”Lavender Green”, dan kalau kalian tahu, Kota-kota dan negara-negara itu masih sangat terasa dalam hati dan ingatan. Oh iya, aku ingat, tentang cerita Fathan mengenai masa sekolahnya dulu, kerjanya nongkorong dan membuat puluhan undang-undang yang berlaku hanya untuk kelompoknya, sebuah peraturan yang tidak tercatat dan dirapatkan di DPR-MPR, namun aku percaya, pembuat UU, Ftan dan temannya bertanggungjawab atas peraturan yang mereka buar. Semoga!. Fathan benar, masa sekolah adalah masa dimana tanggungjawab masih bisa dikesampingkan, masa dimana teriakan masih sering menjadi solusi. Kalau boleh diulang, aku ingin kembali dimasa itu, massa yang mudah saja meluapkan kejengkelan dengan marah-marah. Massa yang setiap permasalahan dapat dengan mudah di ekspresikan tanpa banyak pertimbangan. Tapi, waktu sudah membawa ku di usia ini, siapa yang bisa membantahnya?? Merajuk-meminta, agar dikembalikan ke masa sekolah, waktu tak akan memperdulikan!! Memang siapa aku?! Sampai berani merajuk waktu!!

Fathan juga menyusun kata, tentang kealpaannya jika harus mengira dan menduga apa yang dipikirkan Iyank-nya. Ah’ Ftan, betapa baik kamu ini, jika saja semua orang sesederhana itu untuk tidak menafsirkan gerakan orang seenaknya, mungkin konflik tidak akan menegang. Jujur saja, aku pun belum bisa seperti kamu Ftan, namun setidaknya sudah ada keinginan untuk mencobanya. Tahu kah kamu, betapa pilunya aku saat sebuah senyuman dimaknai seolah aku merendahkan?! Dan dengan seketika, saat ada orang lain yang bisa mendengarkan datang, dia ceritakan senyuman-ku itu (yang dianggapnya merendahkan) kepada orang lain? Ah.. siapakah yang salah, senyumku, atau memang sebelum dia melihat senyum itu, sudah ada di hatinya perasangka aku akan merendahkannya?! Bukankah sering kita keliru hanya karena sebelumnya pikiran sudah membuat kesimpulan sendiri? Rasanya ingin langsung berteriak memberi solusi, tapi... aku sudah bukan lagi di masa sekolah. Atau apakah mungkin karena aku murah senyum, sehingga sunggingan bibirku membentuk lekuk yang nampak merendahkan?? Atau... memang saat itu aku sedang merendahkan dia?! Dengan senyum?? Tegakah aku?? Pusing! Apa pun itu, Buat apa aku terlalu mempermasalahkannya, toh, ini bukan permasalahan serius yang harus diributkan. Jika dia begitu cepat mengambil tindakan mengadukan perasaannya kepada orang lain, tanpa mengendapkannya sebentar saja untuk direnungkan, aku kira akan lama baginya untuk dapat memaknai perbedaan. Meski ada keinginan untuk membalas, biarlah, aku ikhlaskan saja, bukankah aku berkali-kali berteriak lantang agar suporter Indonesia tidak membalas tindakan negara tetangga di Stadion?

Kelak waktu akan memberi jawaban mana yang lebih enak, kalah dengan ketenangan, atau menang tapi membawa ketidak nyamanana dalam hati.

Jumat, 17 Desember 2010

But its not for all of the time

Sometimes life is not fair. Nasehat yang pernah saya dengar, waktu itu, saat saya dan beberapa teman harus bersabar untuk sebuah keputusan yang nampak tidak adil. Simpel, namun sungguh membuat kami tersadar, itulah hidup, dinamika yang diberi kadang membuat air mata, kadang membawa tawa, kadang mengundang benci dan amarah. Sayangnya, manusia terkadang egois. Tertawa terbahak-bakah seolah tawa tak akan datang lagi, menangis membabi buta seolah hidup sunggu menderita, dan begitu benci meraung-raung seolah keadilan tidak ada sama sekali. Nasehat itu adalah sebuah fakta yang menurut saya tidak bisa lepas dari kehidupan. Bukan hanya untuk sebuah keputusan dalam kompetisi, kadang kala masalah sosial, cinta, keluarga dan toleransi juga nampak tidak adil. Because sometimes life is not fair, but its not for all of the time. Kebaikan tentu akan muncul, meski harus disembunyikan dahulu. Itu hal itu, banyak pepatah yang membenarkan.

Berteriak, tertawa dan menangis, bukan tidak di perbolehkan, berteriaklan saat kebenaran harus dikatakan. Tertawalah saat hati membutuhkan, dan menangislah untuk memberi kepuasan kepada batin. Namun semuanya bukan untuk dilakukan secara berlebihan. Terlalu bahagian, terlalu sedih, terlalu marah, memberi sumbangsih atas kebekuan hati.

Tulisan ini bukan maksud untuk menggurui, bukan, bukan sama sekali untuk itu, hati dan pikiran saya juga masih sering khilaf, sedih terlalu sedih, senang terlalu senang, dan marah terlalu amarah. Saya hanya ingin menuliskannya, seperti kata Isaac Newton menulis untuk berfikir, menulis untuk bermeditasi. Just keep pushing on.

Minggu, 12 Desember 2010

Kebanjiran do'a...

Jum’at 10 Desember, hari dimana saya di banjiri banyak doa, baik dari keluarga, teman bahkan dari mereka yang tidak saya kenal secara personal melalui facebook. Ringtone sms saya berdiring. Lalu lintas wall dipenuhi ucapan. Hari ini saya kebanjiran do’a. Ibu membangunkan saya di pagi buta dengan smsnya, mendo’akan agar anaknya sukses. Disusul sms dari kakak, sama, memberi do’a yang terbaik untuk adiknya. Kalau seperti ini, rasanya ingin setiap hari adalah hari lahir, agar do’a terus menyertai saya di sepanjang tahun. 2010, untuk yang kesekian kali, saya berhasil melalui waktu dengan tetap hidup, sampai menginjak di usia yang sekarang, rasanya begitu sempurna pemberian yang diberi Sang Maha Kuasa. Sedikit kesempatan telah di beri, sedikit dinamika sudah diperlihatakan, sedikit hikmah sudah dimasukkan. Namun Itu semua masih belum usai, karena masih banyak rahasia hidup yang akan Tuhan pertunjukkan kepada saya di hari esok.

Tidak ada yang mencolok dalam perayaan hari lahir, bukan lagi dengan topi ulang tahun, bukan dengan tiup lilin, bukan pula ramai-ramai sambil bertepuk tangan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Semuanya mulai berubah. Hidup ini memang harus berubah, karena perubahanlah manusia bisa hidup, termasuk perubahan umur, semakin meningkat usia, gaya perayaan ulang tahun juga berubah. Syukuran bukan lagi menyebar undangan membuat pesta, menumpuk gunungan kado dari teman-teman. Bukan, bukan seperti itu lagi. Kali ini hanya makan-makan sederhana, dengan orang-orang terbatas. Sebagai sebuah ungkapan terimakasih atas kerjasama dan dorongan yang telah di alirkan kedalam hidup saya selama ini, dengan mereka-mereka yang tentunya special hadir dalam perjalanan hidup saya. Memberi tawa, memberi kebahagian serta mengajarkan untuk berbagi.

Terimakasih untuk semua pemberian kalian teman, atas do’anya yang begitu tulus, mendo’akan yang terbaik untuk saya, bahkan ada yang mendo’akan semoga nantinya saya bisa menjadi jubir, jubir kepresidenan mungkin, saya hanya mengamininya, meski terlihat terlalu tinggi, toh itu adalah do’a jika malaikat dan Yang Maha Kuasa mengamini siapa yang bisa menolaknya. Terimakasih atas do’anya, teman. Terimakasih juga atas buku yang kalian berikan “Lavender Green”, terimakasih banyak, bukunya sudah tamat saya baca. Meski saya seram juga membaca buku itu, hidup yang dijalani valen dan orang disekelilingnya sungguh tidak ingin saya alami. Namun terimakasih, terimakasih karena telah memberikan saya buku yang bisa saya nikmati dan memberi pelajaran yang berharga.

Thank u so much,
With love

Senin, 06 Desember 2010

Better Late than Never...? Si...

Tadi malam tepatnya pukul 00:35 WIB, film berjudul social network selesai saya tonton. Film yang bercerita bagaimana Mark Zuckerberg penemu facebook menemukan ide, mengembangkan, mendisaign dan meluncurkan thefacebook (nama awal) berawal dari realitas alamiah yang dijalani dan diinginkan kebanyakan orang. Sampai sekarang semenjak peluncurannya tahun 2003, facebook telah berhasil mengantarkan Mark menjadi remaja muda yang kaya raya. Saya percaya hal ini bukan sekedar keberuntungan, mark memiliki keahlian dan pengetahuan yang sangat baik mengenai jaringan komputer, menerobos sistem keamanan situs dari asrama lain dan menjadikannya sebuah awal kepopulerannya. Mark hanya membutuhkan pemantik realitas dan mengambilnya menjadi sebuah prodak baru.

Saya ingin melihat film ini dari sudut yang berbeda, bukan tentang kejeniusan Mark yang telah mengantarnya hidup dalam milyaran dolar. Bagi saya film ini tidak sekedar sejarah perjalana Facebook. Ada satu nilai yang coba saya ambil, tentang bagaimana seharusnya mahasiswa menyandang statusnya dengan benar-benar mendalami ilmu dan menemukan hal-hal baru. Film ini benar membeli satu pencerahan tentang apa yang sedang saya fikirkan belakangan ini. Bahwa kebanyakan mahasisiwa, termasuk saya (dulu) menjalani hari-hari kuliah dengan hanya menjalani kegiatan rutin, mendengarkan, menyelesaikan tugas, membaca referensi sekedar untuk memenuhi kewajiban tugas. Bukan mendalami dan memahaminya dengan betul-betul. Sehingga apa yang diterima, apa yang di dengar dan apa yang dilihat hanya menjadi lalu lintas belaka. Saya dulu, saat masih menjadi mahasiswa semester awal sampai pertengahan, bahkan sampai sekarang di semester penghujung, tidak bersifat mandiri, kesadaran akan esensi kuliah masih begitu rendah. Saya tidak kaya teori, tidak kaya informasi dan tidak kaya bacaan, itu membuat saya menjadi mahasiswa miskin argumen dan miskin pemikiran baru. Padahal, di awal semester saya telah menancapkan target hidup yang begitu tinggi, memikirkan dan menuliskannya dalam sebuah tulisan. Kini saya sadari,ternyata aksi untuk mencapai impian tidak setinggi cita-cita yang telah di pampang.

Telat selalu datang belakangan, rasa membutuhkan terasa di akhir masa kuliah. Baru di saat ini saya merasakan bahwa membaca buku itu sangat penting. Semakin banyak buku yang di baca, semakin kaya pandangan, dan semakin luas cara berpikir. Sayang seribu sayang. Di akhir masa kuliah saya baru mulai mendisplinkan diri untuk rajin membaca. Tapi.. bukankah telat lebih baik dari pada tidak sama sekali.

Kamis, 18 November 2010

Sudah siap ketupat dan tape uli, “Mau..?”



Suara takbir, paling ampuh mendatangkan keharuan, me-redintegrasi semua ingatan. Selepas mahgrib suara takbir dari masjid-masjid lantang sekali terdengar. Saya, yang sedang asik menulis malam itu langsung merinding dan terbayang rumah. Sedih mengharukan. Sebenarnya sudah tahu besok idul adha, tapi awalnya biasa saja, besok idul adha, sholat ied, potong kurban dan saya tidak di rumah. Tapi itu penilaian sesaat sebelum redintegrasi datang. Suara takbir pertama kali membangunkan bulu kuduk saya, yang tadinya tidak sedih dan lupa rumah, tiba-tiba terbayang semuanya. Buliran air mata membasahi pipi (Halaah.. seperti ungkapan cinta laila kepada majnun saja) ia datang tanpa di minta tanpa di undang. Sampai-sampai keteteran juga menahannya. Jadi, saya biarkan ia mengalir, hitung-hitung mencuci mata. Rupanya air mata ini benar-benar datang dari dalam hati, sangat deras dan menguras tenaga. Saya raih hp yang tergeletak di atas kasur. Dengan cepat saya pencet menu message sampai muncul Write Massage, mulailah saya memilah tuts, merangkai kata, menanyakan sedang apa ibu di rumah? Masak apa untuk lebaran besok?

Untuk sejenak, saya hentikan semua kegiatan yang sedang berlangsung, sambil menunggu balasan sms dari ibu. Di jalan, terdengar suara kentongan dan bedukan, rupanya kumpulan anak-anak kampung yang keliling sambil takbiran. Di sini masih ada kebiasaan keliling kampung sambil bawa arak-arakan, kentongan yang dibawa dari apa saja, ada yang dengan bambu bahkan ada juga yang membawa kaleng, yang penting mengeluarkan suara.

Dreeed dreeed.. getaran hp terdengar. Segera saya buka pesan baru di inbox, dari ibu. Pesan singkatnya memberitahu bahwa di rumah sudah siap ketupat dan uli tape ketan, makanan yang paaling saya suka. Di ujung sms’nya, ibu menggoda saya dengan kalimat “mau..?” . haduuuhh... sudah pasti saya mau.. tapi gimana bisa, huuuuuh.... bisa saja ibu ini, menggoda anaknya pake makanan. Mana tahaan. Walhasil otak saya penuh bayangan lezatnya makanan itu.

Walau kangen, mau di apakan lagi, bukankah kuliah jauh adalah jalan yang saya pilih. Tidak ada paksaan dari orang tua, sungguh-sungguh berangkat dari kesadaran sendiri, jadi segala resiko seperti ini, kangen rumah, y harus diselesaikan sendiri.. tanggungjawab sudah memilih menuntut ilmu jauh dari rumah, jauh dari orang tua. Mesti di goda ibu membuat saya sedikit kesel, gk ada empatinya sekali ibu ini.. namun hati saya menjadi lega. Setidaknya sudah mendengar ibu guyon walau sekedar lewat sms. Di sini saya juga tidak sendiri, ada teman-teman yang senasib dengan saya. Setelah kembali tenang, saya lanjutkan kegiatan yang tertunda tadi, sambil dilanjutkan dengan merangkai tulisan ini tentunya 

Yogyakarta, 15 November 2010
At 19:00

Selasa, 16 November 2010

Berburu Bacaan “‘pelarian” untuk Merasionalkan Perasaan

Selesai sudah buku berhalaman 299 saya baca. Judulnya memang sedikit kurang menarik, terutama untuk saya, yang sama sekali tidak mengerti balapan motoGP. Ya, buku yang ada ditangan saya berjudul “Valentino Rossi” sebuah autobiografi tentang pembalap terkenal itu. Bukan maksud untuk menjadi seorang pembalap, bukan juga untuk mengetahui seperti apa rupa mesin-mesin motor besar itu. Saya hanya membutuhkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di benak. Sebenarnya mental seperti apa yang harus dimiliki seorang juara. Pernahkan Rossi mengalami kebingungan dan kegelisahan serupa dengan saya. Kecewa dan harus menjalani masa-masa sulit untuk membesarkan hati agar ikhlas, menangani keadaan yang merepotkan, planing terpaksa berantakan, waktu terbuang sia-sia. Apakah Rossi juga merasasakan hal yang sama??

Lembar demi lembar saya lalui, menyimak dan menikmatan cerita yang ditulis, sesekali saya percepat speed membaca di bagian cerita tentang kehebatan onderdil motor. Namun entah mengapa rasanya ingin terus membaca. Hidup terlihat seperti balapan, memacu kecepatan untuk mendapat kemenangan. Ada peluang sekaligus resiko di setiap tikungan. Meski sakit dan melelahkan, jatuh dan tersungkur adalah proses belajar yang harus di lalui. Bagi pembalap, Garis finis tidak lagi harapan pribadi, tapi harapan semua orang yang menaruh hati. Itu sebabnya kadang kala, manusia menjadi agresif, berjuang demi memberi hasil yang dinginkan orang lain.

Sebenarnya, buku ini buku kedua yang saya baca sebagai bacaan “pelarian”. Buku “pelarian” pertama adalah buku Laila Majnun, yang sudah saya tamatkan selang beberapa hari sebelum autobigrafi Valentino Rossi. Dan saat ini, saya sedang membaca buku “pelarian” yang ketiga yaitu Dahlan Iskan Ganti Hati, buku keluaran tahun 2007, yang mendapat gelar best seller karena terjual mencapai angka 10.00 eksemplar di cetakan ke empat.

Buku-buku ini saya baca bukan tanpa alasan. Saat-saat sekarang, seharusnya saya mencekoki diri dengan literatur teoritis. Gunanya untuk memperdalam pemahaman saya mengenai topik yang saya angkat untuk skripsi, gelar S1, ya... saya baru akan menyelesaikan S1. Entahlah, rasanya saya ingin istirahat dari ketegangan berfikir. Lebih tepatnya saya ingin lari, menyingkir sejenak dari lelahnya menunggu data yang belum lengkap saya peroleh. Ini semakin membuat saya tegang, waktu semakin sempit, harapan sudah terlanjur saya gantung tinggi-tingi, dan kini, saya lihat tali penyanggah harapan mulai menipis, terus menipis, dibawahnya sudah siap batu cadas, kapan-kapan kalau tali itu benar-benar putus, bebatuan di bawah adalah landasan mematikan. Sadar bahwa keadaan ini tidak bisa di biarkan, saya butuh pengetahuan yang mampu mematikan fikiran pesimis saya. Yaitu pelajaran yang memberikan nilai-nilai kepada otak untuk mampu memanipulasi perasaan, y.. sebenarnya yang saya idap adalah penyakit perasaan. Semangat kendor, melihat hanya dari sisi pesimis, mau bangkit namun belum mampu. Keadaan ini tentu tidak baik jika dibiarkan. Maka, saya putuskan mondar-mandir di perpustakaan kampus untuk mencari bacaan yang dapat merasionalkan perasaan saya. Terpilihlah ke tiga buku itu.

Buku laila majnun saya pilih dengan alasan, saat itu saya ingin benar-benar berhenti memanasi hati, saya butuh sesuatu yang dapat menyiram padam kobaran kegelisahan dan kebingungan. Kata orang cinta merupakan sesuatu yang menenangankan, indah dan bersahaja. Nyatanya membaca cinta majnun kepada laila malah membuat saya berfikir betapa sulit dan tidak menyenangkan cinta mereka. Jika sang pecinta dan yang dicinta mengalami hal dan prinsip serupa dengan majnun alangkah menyedihkan. Buku kedua, autobiogfari Valentino Rossi saya pilih, seperti alasan saya di atas, bahwa penasaran saja bagaimana perjalanan karir dan konflik batin Rossi pindah dari motor super hebat ke motor yang kecepatan mesinnya jauh di bawah motor hebat itu. Sedangkan buku ketiga, sekaligus yang masih saya baca sampai tulisan ini selesai saya kerjakan (saat memositing ke blog, buku itu telah kelar saya baca) adalah buku yang saya pilih tanpa berpikir apapun. Saya lihat, saya pegang, tiba-tiba saya keluarkan kartu perpusatakaan sebagai simbol bahwa saya siap meminjam buku ini. Mulailah pertemuan saya dengan sosok Dahlan Iskan. Tiap cerita dan deskripsinya saya nikmati sambil sesekali saya telan mentah-mentah pikiran dan nilai yang dituliskan Dahlan.

Belajar dari tokoh-tokoh terkenal memberi spirit tersendiri untuk men-charger semangat yang mulai kendor. Saya mulai menemukan apa yang saya butuhkan dari membaca autobiografi tokoh yang terkenal dengan nomer 46-nya. Saya mulai menenangkan kegelisahan perasaan dengan kalimat-kalimat indah majnun kepada laila. Saya juga mulai menanamkan nilai-nilai yang diberikan Dahlan Iskan kedalam penalaran otak saya. Dan, ketiga buku ini memberi saya satu kesimpulan, bahwa bukan tanpa hambatan seorang hidup, apa yang mau di kecewakan dari hambatan jika dia sebenanrnya memberi pelajaran dan kematangan dalam setiap prosesnya. Manusia dilengkapi otak yang luar biasa, melebihi makhluk manapun di muka bumi. Berputus asa, hanya akan menumpulkan kemampuan otak. Alangkah baiknya, jika dalam keadaan lancar, tetap berpikir dan di saat terhambat semakin memacu untuk menggunakan otak.

Rabu, 03 November 2010

Dua Sisi Alam...

Its all about, its all about a life. Siapa yang bisa menerka bencana apa lagi yang akan terjadi. Sudah disibukkan banjir, ditambah tsunami dan kini letusan gunung merapi. Mau apa lagi setelah ini alam berbicara?’ memberi kengerian di balik keindahannya. Hujan dengan kedamaian bulir tetesan air, memberi banjir, jalan-jalan rusak, orang terjebak dan merenggut nyawa. Pantai dengan riuk ombak, angin nyiur melambai mempersembahkan tsunami yang menggerus tanpa pilih-pilih, rumah, tumbuhan, hewan dan manusia, ditebas habis sampai hilang nyawanya. Gunung hijau menyejukkan, riuh suara burung, udara dingin yang menyegarkan paru-paru, menjadi liar saat meletus, bukan lagi udara sejuk yang diberikan tapi hujan awan panas 600 derajat celcius. Tidak ada yang dapat bertahan, mbah marijan sang guru kunci ikut tewas karenanya.

Saya menyukai hujan, menyukai gunung dan juga suka pantai. Semuanya komponen alam yang memberi ketenangan dan kedamaian yang begitu mendalam. Indah, tenang dan sangat bersahabat. Saya rindu hujan saat panas menyengat kulit, saya rindu pegunungan saat mata lelah melihat deretan gedung. Saya rindu laut saat hati ingin kebebasan dan perenungan. Tetesan hujan, memberi irama cucuran air, menyeruakkan wangi debu, basah, segar. Gunung, dengan alam yang begitu hijau meruntuhkan setiap beban pikiran dan emosi yang dirasa. Sering kali gunung menjadi tempat pelarian dari setiap penat yang menghampiri. Laut, bagi saya adalah tempat terindah untuk mengagumi pesona alam, bumi, matahari, awan biru, pasir, pohon kelapa. Kombinasi warna bukan tiga dimensi. That’s real.

Namun kini, belakangan waktu ini, oktober tepatnya, menjadi waktu alam menunjukkan sisi lainnya. Di jarak yang tidak jauh berselang, aspek-aspek keindahan itu menunjukkan keganasan. Gunung tak lagi memberi ketenangan, hujan tak lagi memberi kedamaian, laut menenggelamkan pantai. Jiwa-jiwa melayang, membawa tangis dan trauma mendalam. Memang bukan kali pertama, dulu bencana-bencana seperti ini juga ada. Saat kesedihan dan ingatan itu mulai ditinggalkan, kembali lagi musibah alam melanda. Walau sedih dan menakutkan, melahirkan banyak air mata dan kepiluan namun Inilah hidup.. musibah juga bagian dari hidup..

Rabu, 27 Oktober 2010

Betapa ku Terlalu...

Berjuta wajah muncul di hati
Bayang semu, Sketsa semu
Diiringi kejadian autistic buatan sendiri
Berharap satu diantaranya adalah dia
Yang memilih aku dalam hidupnya

Ini rasa saat hati kembali teringat
Tentang perasaan yang kadang tenggelam terabaikan
Dan kadang muncul mengacaukan

Begini susunan kata yang bisa menggambarkan
Ada alur dan ada rasa ::

Beribu waktu berputar
tahunan umur meninggalkan
Wajarkah jika berdesakan
Karakter pendamping yang diinginkan
Hanya di otak, awang-awang, tanpa wujud yang dapat ditatap
Terpejam terlihat terang
Saat sadar semua hilang memburam

Mata membidik
Berbisik kedalam hati
Tentang dia, dia, dia, dia, dia, dia, dia, diaa
Siapapun yang dilihat mata istimewa
Di hati muncul harapan dan keinginan
Agar dia, dia, dia,dia,dia,dia,diaa bisa datang dan mengulurkan tangan
Tapi malang , ternyata hanya lewat
Datang sekali dan pergi untuk berlari tak kembali

Merasuk kecewa dan menyalahi dia,dia,dia,dia,dia,dia,dia.diaa
Mengesali orang karena tak berhasil
Pantaskah membenci
Sedang hanya diri yang melihat dan menatap
Padahal yang dipandang tak melirik apalagi merasani

Pedih kata yang menyedihkan
Berharap namun tak kunjung datang
Meminta hanya dalam hati
Yang dipinta tak menerima
Semua karena dia dia dia dia dia dia dia dia… puluhan dia
Sebentar melihat bukan memandang

Senin, 13 September 2010

Aku Gelisah...

Sebut ini pengakuan atas kebutuhan batin untuk mengingat Mu ya Allah...

Ku sandarkan kegelisahan ini hanya kepada Mu, Allah yang Maha segalanya
Semua mulai terasa tak berarti
Harapan dan impian begitu tinggi
Kerapkali mendatangkan ketegangan dan keluhan atas berjalannya kehidupan
Beban menjadi memuncah sebab keinginan
Hasrat semakin membara akibat nafsu
Mengambil, demi satu, demi satu, butiran kesabaran
Kemudian menipiskan ketebalan pasrah perlahan
Muncul berbagai sangkaan kepada YME
Mengerutkan dahi dan menebalkan amarah hati
Mempertanyakan dan mengeluhkan pergerakan waktu yang tak diharapkan
Atas realita kejadian yang tak sama... antara aku dan mereka ...
Aku mulai mengesali

Ya Robb....
Selama ini aku hanya melihat kebahagian dari hal yang sementara
Aku sibuk berfikir tentang indahnya “kebun” orang
Tentang enaknya pemberian rumput hijau yang engkau berikan di halaman dia dan mereka
Ya Robb...
Aku selalu menjadi orang yang lemah mempertahankan kepercayaan diri
Lemah melihat betapa indahnya hidup yang telah kau beri
Sibuk, sibuk, aku benci..
Sibuk perkara dunia seperti harapan dan cita-cita yang kerap melenakan
Aku benci rendah
Rendah kadar kekuatan hatiku yang selalu melihat kehidupan orang begitu indah

Kata jikalau mengapa di-adakan
Sebab itu aku selalu menggunakan
Aku benci mengatakan
Jika aku seperti mereka
Jika aku secantik mereka
Jika aku hidup dengan orang tua seperti mereka
Jika aku berjalan di jalan mereka
Jika aku
Jika aku
Jika aku
Tanpa usai...
Setiap selesai mengucap
Batin ini menjadi begitu tak tentram
Fikiran menyekap pada keindahan yang semu
Hati mendesak meraih keinginan dan berteriak mengutuk keadaan sekarang
Karena itu aku benci
Benci memiliki jiwa rapuh
Aku benci mempunyai fikiran dan hati yang terus menciptakan tekanan

Selasa, 17 Agustus 2010

Piala "Duha Award"

Sudah hampir dua minggu di rumah, banyak perkara keluarga yang membahagiakan telah saya lalui. Mulai dari yang sedikit menyedihkan sampai yang sungguh membahagiakan. Salah satunya adalah saat harus menjenguk adik bungsi di pesantren, sudah menjadi kebiasaan keluarga kami selepas lulus SD, langsung dimasukkan ke pesantren. Umi dan aba sudah terbiasa menitipkan anaknya ke pesantren. Saya, kakak dan adik semua pernah merasakan dinamika hidup di sebuah lembaga sekolah sambil nyantri. Kakak saya pesantren di solo, saya di bekasi, adik pertama di bogor dan adik yang terakhir pesantren di serpong.

Masuknya caca ke ponpes Darul Qur’an memberi nuansa yang baru dikeluarga kami. Saya, kakak, dan adik pertama memang alumnus pesantren, pesantren biasa yang kurikulumnya merupakan paduan pelajaran negeri dan kepondokan. Untuk yang satu ini, adik bungsu saya memilih pesantren yang sedikit berbeda, penggenjotan tahfiz Qur’an menjadi kelebihan pesantren ini. Sejak masih SD kelas enam, orang tua memang telah mengarahkan mentalnya untuk menjadi hafizoh, setidaknya lebih unggul hafalannya dibanding kakak-kakaknya.



Hari pertama dijenguk, sungguh mengharukan, jam satu siang kami berangkat, sampai sana sekitar pukul tiga sore. Inginnya berangkat pagi, tapi umi harus kuliah dulu. Sampai disana, ah.. rasanya baru kemarin melihat adik kecil ini masih sering berantem dan susah diatur, kini dia sudah mulai mandiri mengurus dirinya dan belajar untuk bertanggungjawab atas pelajarannya. Sedih tentu, namun inilah langkah awal bagi adik- ku untuk menjelajahi hidup dengan perkembangan usia dan kematangan mental yang mulai menanjak. Awalnya ragu, bisakah dia berpacu dalam pelajarannya. Keraguan ini ditepis dengan kabar bahagia, bahwa dirinya masuk ke level berikutnya dalam hafalan Qur’an, dari enam puluh santri, hanya tiga belas yang masuk ke tahap hafalan dan salah satunya adalah adinda Robi’atu Salsa Bila. Selamat y ca.. moga ini dapat memacu semangat untuk berprestasi.

Cekal bakal kemampuan dan semangat caca memang sudah terlihat semenjak dia SD, di lemari rumah, ada tambahan satu piala, ternya piala “Duha Award” untuk Robiatu Salsa Bila. Suatu penghargaan dari sekolah atas ke-konsistensian melaksanakan solat duha selama sekolah di SDIT. Sebelum masuk pesantren, caca sudah memiliki modal hafalan surat Al-Muluk. Orang tua sejak lama merajut keinginan agar ada salah satu dari keempat putrinya yang memiliki kemampuan hafalan Qur’an dengan baik, rupanya Allah memberi jalan di adik bungsi. Semoga niat dan keinginan dari orang tua, dapat membawa keluarga sederhana ini menunju jalan- Mu yang lebih baik y Allah, Amiiin....

Selasa, 27 Juli 2010

Belajar ikhlas dari mereka...

Bagi saya dan mungkin beberapa teman di akun blog ini, sering membaca rasa dan fikiran saya tentang teman. Segala sikap yang saya ambil bagi mereka yang menjauh. Satu apresiasi akan pertemuan dengan orang-orang baru yang kemudian berubah menjadi teman. Membosankan bagi yang membaca, mungkin. Namun untuk saya, semua perputaran kejadian selalu menarik, meski topiknya sama tetap beda makna dan emosi yang dilibatkan. Untuk itu, meski saya sadar, sudah terlalu sering menulis tentang orang-orang disekeliling, kekuatan untuk menulisnya tidak pernah pudar, menyarukan rasa malu nantinya blog ini dibilang melulu tentang teman. Disinilah ruang saya bebas bersuara, melantangkan perasaan yang tidak bisa diucapkan di forum lain. Ini blog pribadi, dan secara pribadi pula saya ingin membebaskan jiwa ini untuk menuangkan semua yang dirasa.

Bukan berarti saya individu anti sosial, tidak memerlukan orang lain untuk berbagi, tentang perasaan, emosi dan amarah. Semua itu tidak sabar ingin dituangkan dalam obrolan wanita. Hanya, untuk berbagi cerita kepada orang lain belum bisa saya muarakan pada satu orang. Belum ada dia, siapapun itu yang mampu saya relakan untuk mulut ini bercerita dan berkeluh kesah tentang semua kejadian hidup yang saya alami. Teman disekeliling kebanyakan wanita, mudah saja jika ingin berbagi. Rupanya, itu tidak mudah, tipikal kepribadian menahan saya menceritakan masalah dan jurnal kehidupan yang saya jalani. Mungkin pemikiran ini salah untuk beberapa orang. But not for me! Saya hanya memerlukan personal tunggul untuk saya berbagi, kepadanyalah, dia, pria dewasa dengan kewibawaannya, yang nantinya akan menjadikan setiap keluhan dan bahagia saya menjadi separuh dari nafas kehidupannya. Itu alasan, mengapa saya tidak bisa dengan terang mencurahkan perasaan kepada teman layaknya obrolan wanita.

Saat hati dan fikiran lelah, ada beberapa sosok baru yang mengingatkan saya untuk merasakan beban ini dengan damai. Melepas secara perlahan. Keajaiban kadang datang tidak diundang, mereka yang tidak pernah terbesit akan dekat, kini mulai menunjukkan kenyataan sekenario sang maha kuasa. Dengan segala cara pendekatannya, melalui pertemuan singkat yang mengikat kami dalam satu kerja bersama. Hasilnya, kerja singkat itu membawa saya, dan beberapa teman berbeda konsentrasi menerima persahabatan tanpa tawaran resmi diatas kertas. Teman yang kini menjadi kawan, yaitu mereka wanita-wanita unggul, yang mampu menatap kejadian dengan sudut penuh optimis, menyaring semua berita kedalam pandangan yang sangat dewasa dan bijak. Melihat setiap perbedaan dengan indah dan penerimaan yang lapang. Mendengar keburukan orang dan men-skip’nya menjadi bahan evaluasi diri.

Jika diruntut, mungkin saya akan terbingung, darimana kebersamaan ini bisa tercipta. Saya teringat sebuah, entah teori atau hanya satu pemaknaan hidup yang saya terima, bahwa kebersama tercipta jika ada satu kesamaan rasa dan cara pandang. Orang baru datang silih berganti, hanya berlalu dan tidak semuanya menjadi kawan. Bahkan ada yang kian menjauh. Saya dan beberapa teman baru saya, memiliki satu sudut pandang dan penilaian yang sama. Melihat segala keruwetan hidup dengan pandangan sederhana. Kabar penilaian buruk tentang orang-orang hanya sebagai gosip, its just having fun, that’s entertainment. Kami sadar, bahwa kekurangan orang bukanlah hal besar yang harus dipermasalahkan. Dan masalah-masalah yang datang akan ada jalan keluar dengan mental plus yang harus dibangun.

Kamis, 24 Juni 2010

When...

Bolehkah saya memaki
Saat semua terasa tidak adil
Bolehkah saya tersedu ketika kejadian terus memojokkan kesabaran
Bisakah membanting pecah untuk memberi kenyamanan
Ingin mencabik dan meninju remuk semua ini
Keadaan yang sangat mengganggu
Maraah!! Amarah!!
Saya sendiri
Menumpuk perkara gelisah dan penilain orang
Damai? Tentu tidak
Terlihat, semua terlihat saat memejam mata dan menoleh kedalam hati
Disana, ada berjuta sesak kemarahan yang ingin berteriak
Mengapa?! Apa?! Sial?! Mengapa?! Mana?! Mengapa?! Mengapa?! Mengapa?! Bisakah?! Selalu!! Mengapa?! Mana?! Mana?! Mana?! Kapan?! Mengapa?! Tidak bisakah?! Mengapa?!
Tiba-tiba, saat marah
Saya tersadar, keadaan adalah apa yang hati katakan
Sedih membawa kesedihan
Bahagia dan optimis membawa keringanan
Ada satu pengetahuan
Tentang pengelolaan hati membawa suasana diingingkan
Cahaya mulai masuk, dicelah kelam awan hati
Membuka pandangan dawai
Membawa wangi diribuan keresahan yang menjulang
seperti pohon di hutan perawan
Adanya dihati sebagai jagat dengan perasaan sebagai isinya
Karena saya manusia
Ada pertimbangan
Ada pikiran, menghadirkan Bahagia, bangga, bersyukur, sedih, kecewa, marah dan duka
Autistik jika tidak berpikir dengan logika
Hidup memang seperti itu
Mau menangis dan merengak?
Meminta dan berharap
Bahagia saja yang datang
Mana indah hidup ini
Lupa y... ada penjaga keseimbangan
Sedih berarti diingatkan
Bahagia juga diingatkan
Jadi...
Coretan ini tak ingin usai
Sampai jari tak lagi mampu mengangkat



Mala Fajriyah

That's Competition

Saya percaya dibalik kerjakeras akan ada hasil. Cuma terkadang sering lupa bahwa ada proses disetiap cerita, ada jalan sebelum mencapai tujuan. Rasa kecewa, dipicu oleh harapan yang terlalu tinggi, sehingga saat apa yang berjalan tidak sesuai keinginan, dengan mudah memancing kekesalan dan kemarahan. Berjalan sendiri tidak serumit saat harus berdampingan dengan orang lain. Seorangan, tentu hanya membawa diri dan fikiran sendiri, keputusan dibuat sesuai pertimbangan dan pengetahuan sendiri. Keinginan dan tujuan saya tentu berbeda dengan teman-teman. Itu sebabnya mengapa menghadapi tantangan yang sama, bisa berbeda menyikapinya. Semua tergantung tekanan yang dibuat dan setinggi apa harapan yang diinginkan. Sedih sudah pasti, saat harus menerima kenyataan bahwa saya dan teman-teman mesti kalah secara normative karena trouble pihak lain.

Hal kalah disadari setiap kita sebagai suatu proses wajar, bukan tidak adil atau tidak sayang. Semuanya meninginkan menang, yang menjadi sulit ketika kemenangan bukan lagi diharapkan oleh peserta, tapi pihak lain yang terlibat melatih kemampuan kami. Bukan beban, hanya sebagai suatu rasa yang tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab, memberikan yang terbaik adalah tugas kami, mempersembahan capaian yang baik juga menjadi tujuan kami. Tetapi ketika semua keinginan itu belum tercapai, apa bisa waktu diputar? Mengulang untuk merubahnya sesuai harapan? Agar rasa bersalah ini terkurangi? Sayangnya tidak, maka yang tercipta adalah perasaan yang begitu tidak enak, bersedih dan terasa berat memnpertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberi. Hatur sembah maaf, tidak henti ingin terus diucapkan ketika belum bisa membanggakan dengan sebuah kemenangan.

Saya pun merasa garang, itu terasa kelam, saat penilaian bukan lagi berharap pada kemampuan. Nama besar dan darimana kami berasal rupanya masih menjadi point besar untuk menilai. Terlalu berlebihan mungkin penilaian saya, tetapi inilah suara hati yang ingin saya teriakkan. Lagi-lagi karena penampilan! tidak ada aturan untuk kami bertanding hanya dari asal muasal. Apa yang diinginkan para judgment? apa yang menjadi harapan pengambil keputusan! Jika bukan lagi kedalaman study menjadi acuan, lantas apa??. Sudah pasti kami kalah, karena kerja keras dan pendalama materi menjadi siasia. Ditambah yang memberi apresiasi harus rela kami tanggalkan.

Aahh.. sudahlah, meski ini berakhir dengan kekalahan, bukankah yang maha kuasa mengatur kejadian sesuai dengan kemampuan umatnya. Usaha dan kerja keras sudah dilkaukan, hasil semunya diserahkan pada pemilik bumi dan pencipta semua ilmu pengetahuan.

Just cover

Dulu, ada sebuah nasehat “jika ingin orang lain melihat kita, tampilkan diri dengan ilmu dan kemampuan “ namun, untaian kalimat yang saya yakini ini mulai memperlihatkan kenyataan yang berbeda. Saya kira, kemampuan dan keahlian menjadi satu-satunya penilaian orang agar mau memberi kepercayaannya kepada saya. Rupanya saya salah. Lagi-lagi faktor tampang menjadi hal yang membuat saya kembali geram. Mau tahu alasannya? Saya tidak membenci mereka, tidak pula ingin kufur nikmat dengan apa yang telah Allah ciptakan kepada saya. Menjengkelkan saat kesempatan diberikan bukan lagi berdasarkan kemampuan yang dipunya. Jika harus kecewa karena kalah dalam bertanding, saya terima, tapi kalau harus ikhlas melihat penolakan karena faktor tampang! ini yang paling saya benci.

Mengapa menjadi begitu ringan menilai orang hanya dari tampang, bisakah tampang menjamin kehandalan seseorang? bisakah eksklusifitas dan kecantikan memberi garansi bahwa merekalah yang terbaik. Lantas, dimana kompetensi bisa menjadi tiket untuk diterima?? Lalu, kemana apresiasi yang diberikan? untuk mereka yang gigih berlatih? saatnya kesempatan datang, harus rela tersingkir karena peluang diberikan kepada yang elok rupanya.

Adilkah ini? Saya menjawab , sangat tidak adil!
Diselang waktu, saya mencoba meraba mana hikmah dari semua ini. Hanya ada satu jalan bisa saya terima, bahwa jika langkah ini tertutup, akan ada pintu pengganti, yang jauh lebih indah. Apakah yang cantik pasti memiliki kemampuan?? Lantas mengapa menjadi begitu percaya, mereka yang diberi kesempatan tanpa tes!!

Senin, 14 Juni 2010

U Are....

Agenda ini mempertemukan saya dengan dia, sosok yang pembawaannya begitu tenang dan mengagumkan.Melihatnya begitu mempesona. Tak banyak bicara, jarang menyapa, sikap dan candanya kadang gk penting, tetapi bagi saya sungguh berbeda. Rupanya tak rupawan, namun sangat menenangkan. Tingkahnya jayus, bagi saya itu bagus. Candanya tidak lucu, tapi membuat saya betah menatapnya. Pendiam bukan berarti membosankan. Sosoknya begitu dewasa, runtutan kata yang dipilih sangat tertata. Pendapatnya masuk akal dan logika. Menunjukkan bahwa dia istimewa.

Jumat, 04 Juni 2010

Hilang Tumbuh Tenggelam...

Pengalaman silih berganti, tumbuh baru, mati kembali. Yang satu hilang, lain cara datang. Teman pun begitu, satu tiba, kemudian tenggelam, timbul lain orang, hilang lagi jauh memburam, bersama keseimbangan yang tertendang. Kadang, dia yang tak terkira, berubah menjadi teman. Mereka yang tersayang, pindah, jadi yang tak bernilai. Perbedaan diterima hanya diawal, saat bosan, ketidaksamaan menjadi alasan. Sakit hati kini jadi hitungan, membicarakan kekurangan teman kepada banyak orang. Ada yang salah dengan ketidak samaan?? Kamu, mereka dan saya adalah orang yang memiliki pandangan yang berebeda. Hanya saja, kemampuan menerima, itu yang menjadi persoalan. Belum lagi kematangan menyampaikan pertentangan, itu penting untuk dilakukan.

Saya melihat ketidak cocokan sebagai keadaan yang selalu ada, harusnya menyikapi dengan satu penerimaan. Tidak ada perlawanan yang tajam apalagi menghantam, jika tidak sepandang, tampilkan argumen yang menantang bukan hujatan tanpa arang. Buat apa emosi yang memuncah, jika hanya membuat permusuhan yang datang. Adakah hati yang terpecah kembali rapih tanpa tanda patah?? Hati utuh, jika dibanting pecah, tidak lagi menjadi mulus, menjatuhkan orang dengan nada menantang, bisa Menentramkan?? atau justru membangunkan pertahanan?? Ujungnya bertengkar tak berkesudahan. Berbaik disukai semua orang, berjahat dijauhi orang-orang. Pandai menilai, sungguh dilihat tidak mengenakkan, berteori tentang apa yang seharusnya orang lakukan. Tapi lupa, lupa untuk memandang, kedalam diri, sudahkah benar.

Beberapa hari lalu, seorang teman menelepon, mengingatkan saya tentang pribahasa tongkosong nyaring bunyinya. Kami sependapat. Heran, mengapa mengkritisi menjadi kegemaran. Hebat, melulu salah, mengoreksi dengan suara lantang, berfikir negatif dan pesimis. Coba, beri solusi. Tapi, muncul satu fikiran lain cabang, kayanya... penting juga ada poros suka mengkritik, jadi ada yang seru-seru. Teman saya membantah, di balik telephone, jaraknya kiloan meter disana. Yang salah, mereka yang menolak, selalu berdiri diketinggian amarah. Menonjolkan tanggapan dan menjatuhkan lain pendapat. Kadang, yang kalah hanya karena kurang garang, akhirnya memilih diam. Dan mereka menang karena berani menginjak lawan. Etika, adakah dipegang??

Jalan menunjuk saya untuk mendekat kepadanya, kepada mereka yang tak senilai. Ini yang diawal saya bilang, teman yang tak disangka, datang, mendekat dan memandang. Karenanya, saya siap dengan semua keyakinan yang saya pegang, dengan cara pandang saya menilai dan mencerai ketidak nyamanan hati. Meletakkannya jauh di awang-awang. Berdampingan dengannya untuk satu misi, lihatlah misi itu, jangan lirik hal menyebalkan, yang dirasa berlebih-lebihan. Buang saja, terima kemungkinan tidak mengenakkan sebelum dia datang. Dan jadinya, siap dengan perubahan awan yang mungkin datang, awan cerah ke mendung kemudian badai. Perasaan yang diserang jadi tenang, karena sadar bahwa ini akan become.

Saat perkenalan sebatas penilaian kulit

Setiap pengalaman memberi satu pelajaran baru, pun itu pengalaman baik atau pengalaman buruk, keduanya tidak ada yang sia-sia selama diresapi dan dimengerti sebagai sebuah proses untuk menjadi lebih baik.

Beberapa hari lalu, saya mengikuti acara seminar nasional, pesertanya dari berbagai kampus di beberapa kota. Masing-masing memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda-beda. Tampilan yang disajikan, apa yang dikenakan serta apa yang dibawa menjadi brand masing-masing individu. Selang beberapa lama, layaknya sebuah pertemuan dengan orang-orang yang baru kenal, mulailah saya mencoba membangun keakraban dengan memperkenalkan diri dan berbincang ringan ala perkenalan dengan orang baru. Ada yang menyambut ramah ada pula yang terlihat sekedar menanggapi tanpa hati.

Untuk mereka yang menanggapi setengah hati, saya maklum dan cukup mengerti bahwa tidak semua orang akan menerima tawaran persahabatan. Mereka dan saya bebas memilih mana individu yang dijadikan teman dan mana yang tidak. Namun kadang, ada sikap-sikap penerimaan yang saya tidak setujui, orang-orang yang melihat dan menilai hanya berdasarkan eksklusifitas dan kecantikan. Mereka yang bergaya eksekutif menjadi lebih mudah diterima, dan mereka yang berpenampilan kurang eksklusif mendapat hambatan dalam penerimaan yang baik.

Entah apa yang dipercaya, bisakah penampilan menjamin kesuksesan orang, bisakah bawaan mewah yang ditenteng menjadi garansi bahwa orang itu berkompeten? Saya kira tidak. Saat perkenalan dipahami sebatas pergaulan, sehingga nilai-nilai eksklusifitas dan kecantikan menjadi kebanggaan tersendiri, maka yang muncul adalah penerimaan dan penolakan berdasarkan tampilkan. Padahal esensi yang lebih jauh dari perkenalan adalah membangun relasi. Perkenalan yang dibangun merupakan investasi untuk jangka panjang. Orang-orang yang menerima saya dengan baik tentu akan tersimpan diingatan saya, suatu saat ketika mereka datang membutuhkan pertolongan, dengan senang hati akan saya bantu. Sebaliknya siapa saja yang telah memberi kesan kurang menyenangkan, suatu hari mereka datang dan meminta bantuan bisa jadi saya menolaknya karena redintergrasi kejadian masa lalu, yang kurang bersahabat.

Selasa, 04 Mei 2010

Dipercaya, Bebankah?

Menerima sebuah kepercayaan adalah kebanggaan. Satu representasi atas sedikit potensi yang diakui orang lain. Hanya, kepercayaan menjadi beban saat mengerti bahwa di balik kepercayaan ada satu harapan orang lain yang harus dipenuhi.

Jarang saya memberanikan diri menunjukkan kemampuan dan pandangan kepada orang lain. Menonjolkan diri di depan publik dengan tanpa tuntutan begitu sulit dilakukan. Berbeda dengan beberapa teman yang memiliki kemampuan vokal dan keberanian menyuarakan apresiasinya, berargumen dan berdebat untuk satu kepercayaan yang mereka yakini.

Saya diam, bukan berati tanpa pandangan, bukan berarti tanpa tanggapan, saya takut berwacana saat materi yang saya punya begitu minim. Meski terlihat non-aktif, hati dan fikiran saya terus bekerja melihat setiap permasalahan yang didiskusikan. Mencoba memola, mendiaknosa point penting mana yang menjadi tujuan utama pembahasan. Titik yang memiliki insight didalamnya.

Saya berusaha melihat semuanya secara sederhana dan sistematis, meruntun alur cerita dan melihat permasalahan diporsinya. Saya tidak mampu berfikir yang “tinggi-tinggi”, dan memang tidak ada ketertarikan di pola pikir yang begitu cyber dan kritis. Saya lebih tertarik meresapi setiap issu dalam pandangan kehidupan yang tidak terlalu idealis.

Pandangan ini yang membentuk saya menjadi mahasiswi yang tidak kencang menyuarakan lantang vokal ketidaksetujuan: mengkritik dan memprotes satu permasalahan. Sungguh saya malu saat berkata tanpa data dan pengetahuan. Ditengah rasa ketidak percayaan diri. Ada satu penawaran kepercayaan. Saya bingung, bahagian sekaligus khawatir, mampukah saya? rasanya menjadi sungkan dan tidak nyaman.

Namun saya sadar bahwa angan dan impian yang ingin saya gapai di hari nanti membutuhkan satu langkah pemula untuk mengawalinya. Dibalik kepercayaan yang diembankan, disana terdapat proses yang menguntungkan. Tanggungjawab dan kerja maksimal adalah langkah yang harus saya lakukan. Nantinya ada bonus yang diterima yaitu pengalaman dan pengetahuan atas dinamika yang diberikan kesempatan.

Masalah Menjadi Indah Setelahnya...

Mendengar dan menyaksikan kehidupan orang lain membuat saya merasa, bahwa semua pernah mengalami sedih dan gelisah. Menangis adalah saat batin tidak mampu menahan kesedihan, marah dan kecewa adalah saat hati tidak bisa menerima keadaan

Saya pernah mendapat pertanyaan bagaimana caranya untuk menjadi dewasa. Tersentak saya berfikir, jawaban apa yang harus diberi. Mengapa orang mencari arti kedewasaan saat mereka menghadapi kesulitan, mungkinkah mereka kira kedewasaan adalah sisi lain dari permasalahan. Bagi saya, kedewasaan merupakan proses yang didapat bersama masalah. Tanpa permasalahan kedewasaan tidak akan berkembang

Hari ini ingin berterimakasih atas sekolah kehidupan yang telah di beri sanga Maha Kuasa, berkat-Nya, saya belajar memahami dan menerima setiap kesulitan. Mendewasakan perasaan dengan tetesan air mata. Mungkin sudah ribuan tetes. Namun berkat itulah saya mampu menjadi wanita yang tidak lagi melihat perbedaan sekecil kuku kelingking

Jika jeli, setelah susah, sebenarnya ada pelajaran luar biasa yang bisa diambil. Seolah diatur dalam cerita, Sang Maha Kuasa akan mempertemukan kita pada kejadian lain yang menyadarkan bahwa masalah yang dahulunya terasa pahit berubah menjadi penuh hikmah, lalu kita mengerti bahwa kesedihan dan kesulitan adalah pondasi awal untuk mampu memandang hidup dengan bijaksana

Ada proses yang harus dijalani untuk menjadi individu yang baik, begitu pula keindahan dan kekurangan yang dimiliki seseorang akan muncul seiring kematangan mereka dalam melihat dan menapaki setiap kejadian. Dengan penuh pengertian pastinya.

Sabtu, 03 April 2010

Saat sakit...

Saat bahagia, pihak yang saya rindu adalah keluarga. Saat sakit, mereka tetap yang paling saya inginkan. Tengah malam, saya merasa ada yang tidak beres, tidak hujan namun terasa begitu dingin, suhu tubuh meningkat, menggigil, sesak dan pusing semakin menyakitkan. Saya sadar, bahwa saya akan sakit.

Beberapa jam merasakan deman seorang diri sungguh memilukan hati, tidak ada yang mengulurkan tangan ke dahi untuk mengukur seberapa tinggi deman yang saya derita. Tidak ada yang menyiapkan obat untuk saya minum, tidak ada yang menanyakan seberapa sakit yang saya rasa.

Dalam demam, berharap ada umi, aba dan kakak di sini, memopang saya untuk minum obat, menarik selimut dan merapihkan tumpukan bantal agar saya bisa tertidur. Namun mereka tidak ada, tiba-tiba mata ini terasa begitu hangat, menjatuhkan butiran air mata yang tidak bisa ditahan. Saya harus menajalaninya seorang diri. Menahan dan mengurusnya sendiri.

Teman? Mereka hadir sekedar untuk menyapa. Seterusnya, mereka punya perjalanan kegiatan masing-masing. Siapa yang bisa menggantikan kepedulian keluarga? Siapa yang bisa mendengar tetesan air mata menahan demam yang sangat menyakitkan kecuali keluarga. Datangnya sakit, sama sekali tidak saya harapakan, namun ketika ia datang, siapa yang bisa mencegah.

Hidup jauh dari orang tua memang harus siap menerima semua keadaan buruk yang mungkin harus dihadapi. Teman, bukan insan yang bisa diharapkan kepeduliannya seperti orang tua memberi perhatian pada anaknya. Saya mengerti. Masing-masing memiliki pekerjaan yang lebih prioritas dibanding mengurusi saya yang bukan siapa-siapa.

Sendiri tidak lebih baik...

Sore ini, bertemankan secangkir moccacino dan donat, mencoba melepas penat. Namun semua tidak berhasil. Tempat yang begini nyaman, hanya aku nikmati seorang diri. Ku pejamkan mata, mencoba menetralkan keadaan hati, begitu hangat, indah bisa melihatnya, tatapan penuh hangat dan nasehat menyejukkan, mendengarkan setiap cerita sedih maupun gembira. Saat menoleh tidak ada siapa pun disamping.

Semua kelengkapan yang dimiliki tidak bisa membantu. Apa yang salah, aku yang terlalu pendiam dan menutup diri? atau ini hanya alur hidup yang harus dijalani. Jika iya, segera ingin menyudahinya, berlari dan bersembunyi, meneriakkan akan kebutuhan teman atau seseorang yang bisa berbagi.

Agak berpikir autistik memang, membayangkan dengan secangkir minuman, berbincang dan mendengar untaian kalimat dari mulutnya, menatap riang wajah nan bersahaja penuh kasih sayang, pasti sangat menenangkan. Kapan, pertanyaan itu terus menghantui? Pertanyaan yang tak kunjung ada jawaban, jika waktu dilalui seperti hari ini, tidak ada siapa pun disana, apa lagi yang bisa diperbuat.

Mengeluh tidak bisa menghapus kekeringan hati.Mencoba mencari alternative tetap tidak bisa membuat tersenyum. Akhirnya, hanya begini, menghabiskan waktu di tempat ber’Ac dengan secangkir mocaccino, sendiri. Namun Kelak, suatu hari, ketika sosok yang aku harapkan datang, menemani aku ditempat ini, berbagi pelajaran hidup dengan wawasannya dan menceritakan indahnya pengalaman dengan kearifannya. Kepenata ini mungkin akan pudar dengan sendirinya. Bersabar sampai hari nanti, semoga aku mampu.

Jumat, 26 Maret 2010

Rasa Bersalah...

Dalam berinteraksi dengan teman sekufu terkadang membuat saya lupa untuk mensyukuri nikmat. Apa yang saya terima terasa jauh dari kecukupan. Kesempatan kuliah, baju yang saya kenakan, kenikmatan makan dengan lauk yang beragam, terpenuhi kebutuhan sekunder, hp, motor, tv, notebook masih membuat saya tidak bersyukur?

Keinginan membeli hal-hal baru yang belum dimiliki terus menggerogoti hati, meski tidak diperlukan terlihat begitu mendesak. Pemenuhan keinginan menjadi menuntut, mengaburkan pandangan untuk tidak berlebihan. Di sisi lain, di persimpangan jalan setapak, sebuah sepeda tua dengan gerobak kecil dibelakangnya tempat menaruh siomay dan segala keperluan dagang terlihat begitu ringkih. Disampingnya, duduk sosok tua penuh lelah sedang menghitung uang hasil penjualannya, tidak ada warna hijau, biru apa lagi merah seratus ribu. Selama mata melihat , warna itu begitu seragam, warna uang lembaran seribu rupiah.

Hati menjadi begitu bersalah, meneteskan butiran rasa perih penuh kesesakan, apalah kurang pemberian orang tua selama ini? Merengek, memaksa untuk membeli barang-barang yang tidak penting, yang jika rusak hanya berubah menjadi barang rongsokan. Apalah betul tindakan saya selama ini, menghabiskan uang dengan segala kemubazirannya. Padahal disana, disudut jalan kecil itu, masih ada mereka yang berhati lapang menerima kesusahan menjalankan hidup, mencari uang dengan peluh dan perut yang perih.

Tegakah saya untuk tetap tidak bersyukur dengan semua fasilitas yang diberi orang tua? Beranikah saya untuk menggapai barang mewah dengan benak bayangan sosok letih itu? Kini saya tahu, tidak ada lagi kepekaan dalam diri, saya angkuh dan begitu sombong. Menikmati baju mahal dan makanan mewah sambil mata melihat sosok lelah itu.

Sekarang, apakah kamu hanya akan melihat dan mengasihani mereka, mala? Tanpa bertindak sekecil apapun yang kamu bisa? Jika sekedar menangis dan berucap kasihan, apalah guna kesedihan hatimu!!

Melihat dan Memahami, akhirnya Maklum...

Apa yang diharapkan dari sebuah persahabatan? jawabannya begitu banyak, rasa nyaman, keseruan, tempat berbagi cerita, berbagi pengalaman, saling membantu dan melengkapi. Nyatanya, harapan tidak selalu sesuai dengan prakteknya, itu sebabnya mengapa rasa kecewa selalu ada

Saat harapan tidak sama dengan kenyataan muncul ketidak nyamanan. Kekecewaan tidak akan terjadi ketika kedekatan dengan seseorang berlangsung dengan cepat. Ada teman yang memang dekat, ditandai dengan intensitas bertemu yang sering, ada juga yang hanya bertemu di dalam kelas, dengan tingkat intensitas interaksi yang rendah

Dalam kasus ini, teman yang jarang bertemu dan berinteraksi sekedarnya lebih sedikit memberikan kekecewaan dibanding mereka yang sering bertemu, main bareng dan pergi bersama. Harapan terhadap teman yang rendah interaksinya tidak setinggi harapan mereka kepada teman dekat. Saat teman dekat bertindak yang menurut individu tidak sesuai dengan keinginannya maka saat itu muncul kegusaran

Pengidentifikasian sifat seseorang hanya bisa diberikan ketika hubungan dengan teman berjalan dengan intensif. Dalam interaksi yang sudah cukup lama, masing-masing individu lambat laun akan menunjukkan ciri diri di setiap responnya, apa yang diceritakannya dan juga sudut pandang mereka dalam menanggapi satu kejadian. Secara tidak langsung semua memiliki karakteristik tertentu yang berbeda-beda. Perbedaan ini yang kadang tidak siap kita terima. itu sebabnya muncul kata-kata seperti “dia seharusnya begini, dia tuh gk ngerti, seharusnya dia begitu”

Setandar “seharusnya begini, seharusnya begitu” berbeda-beda di setiap individu, saya mengatakan “seharusnya dia begini”, menurut mereka “itu sudah benar”, jika kedua sudut pandang ini dipaksakan, akan terjadi benturan

Menginginkan agar orang lain berpikir dan bersikap seperti yang diri mau, tidak akan mungkin. Setiap individu memilik latar pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Cultur keluarga, didikan orang tua dan kebiasaan keluarga dekat secara tidak sadar membentuk sikap seseorang. Anak kecil yang dibiarkan ibunya meminta makanan atau mainan orang terlampau sering, akan membawa kebiasaan itu sampai dewasa. Orang tua yang tidak mengajarkan anaknya untuk berbagi, akan memola sikap anak menjadi orang yang cenderung pelit

Apa yang anak alami saat kecil, kemudian tidak dianjurkan atau tidak dicegah oleh orang tua maka bagi si anak hal itu adalah tindakan wajar, yang bisa diterima semua orang, akhirnya sang anak membawan kebiasaaan itu sampai dewasa. Arahan untuk bersikap yang baik dan teguran ketika bersikap tidak baik dari orang tua memiliki peran penting untuk anak mengingat, mana perilaku yang baik yang diterima orang, mana yang buruk, yang tidak bisa diterima orang

Pembelajaran sikap juga harus diajarkan saat anak tumbuh remaja. Karena kerap anak di usia remaja bertingkah sesuai penglihatan mereka sebagai remaja. Sebagai contoh, saya dan seorang teman, beberapa hari yang lalu, pergi mencari makan malam, saat sedang menunggu pesanan kami disajikan, saya tidak sadar kapan remaja itu datang, tiba-tiba saya dan teman mendengar suara yang begitu cempereng berbicara tidak henti-henti, karena penasaran akhirnya saya dan teman melihat kearah remaja itu, dengan kaos dan celana super pendek remaja itu terlihat sangat akrab dengan penjual, dari tadi mondar-mandir, ngajak ngobrol dengan volume suara yang hampir mirip teriak-teriak, bermanja-manja dan melambungkan cerita tentang diri

Saya dan teman, saling melirik, menyepakati sikap anak itu kurang bagus, dan ternyata remaja itu tidak sendiri, disampingnya ada sang ibu yang sedari tadi hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Tanpa ada teguran untuk bersikap yang manis, si ibu seolah membenarkan sikap anaknya.

Sang penjual yang awalnya terlihat begitu meladeni remaja putri tadi, selepas mereka hendak pergi, si remaja pamitan, tidak saya duga, sebelum anak dan ibu itu pergi, si bapak penjual memberi pesan “besok kalau sama orang tua yang sopan y”.
Saat ibu dan anak itu benar-benar pergi, si bapak dan mba yang membantu berjualan bercakap-cakap, mengomentari tingkah dan volume suara remaja itu yang dianggap tidak baik

Maka, hal yang bias saya lihat dari kejadian tadi, ketika ada orang yang cenderung selalu menceritakan keunggulan diri, bertingkah tidak baik. Kemungkinan orang tuanya tidak mengajarkan anak akan nilai-nilai rendah hati dan kesopanan.

Rabu, 24 Maret 2010

Terimakasih...

Dua puluh tiga maret, duaribu sepuluh, akhirnya barang yang saya butuhkan datang juga. Notebook sederhana namun sangat berarti. Puluhan hari terakhir, laptop tua saya rusak, hasilnya vakum corat-coret curhatan

Sebagian mungkin berkata, laptop rusak bukan penghalang untuk tidak menulis, yang jelas, bagi saya itu sangat mengganggu. Hidup di kosan dengan beragam sifat orang yang berbeda, membuat saya tidak leluasa meminta bantuan mereka sekedar meminjam laptop. Entah perasaan saya yang terlalu perasa, atau mungkin itu sedikit tanda-tanda yang bisa saya baca, muncul satu sikap yang memberi simbol ketidak ikhlasan. Dan saya putuskan untuk menahan diri mengganggu ketenangan orang dengan meminjam barang mereka

Ada pilihan lain, menulis di warnet, bebas, tanpa takut mengganggu privasi orang lain, muncul lagi masalah baru, bagi saya, kekusuan dalam menulis akan hidup secara optimal di malam hari. Kadang ditengah malam. Terbenak untuk mencoba menulis di waktu aktifitas orang masih begitu nampak, yang didapat, hanya lembaran microsoftword yang kosong

Saya butuh kebebasan tanpa ada beban, perasaan tidak enak dan tidak ada orang dengan aktifitas lain disekeliling selama saya menulis. Menggambarkan perasaan dan ungkapan hati membutuhkan keheningan dan suasana sepi malam. Menulis lepas tentang perasaan dan kegiatan hidup, merasakan setiap detak rasa dalam untaian kalimat, menjadikannya satu bacaan story, yang jika dibaca ulang, menumbuhkan jiwa semangat dan ketenanganan batin yang begitu dalam

Kali pertama merasa begitu kehilangan saat alat elektronik terkena error system, saya harus menahan luapan keinginan untuk menulis, dengan ratusan memori kejadian yang berloncatan di kepala, ingin saya abadikan sebagai sejarah pribadi namun terhambat laptop yang rusak

Segera, ketika pengganti laptop tua datang, malam ini saya torehkan sepercik sejarah untuk hari esok, bahwa akhirnya setelah hampir sebulan lebih terpaksa berhenti curhat, hari ini tanggal 23/03/2010 notebook pemberian orang tua datang memberi kebahagian begitu elok

Terimakasih untuk umi dan aba, yang senantiasa selalu melengkapai fasilitas untuk saya kuliah, meski bukan barang mahal, hal ini tetap begitu berharga untuk saya. Kelak, tidak akan surut keinginan dihati untuk terus memberikan yang terbaik bagi kedua orang tua tercinta. Luv u mi, luv u ba…

Kamis, 25 Februari 2010

inilah yang dinasehatkan dulu...

Lama tidak menorehkan perasaan hati di sebuah kertas atau yang lebih canggih sekarang di blog ini. Begitu mengasyikan ketika mengingat bahwa perasaan menjadi begitu ringan ketika berhasil merangkai kata menjadi sebuah cerita. Tidak ada obsesi agar blog ini ramai pengunjung, yang terpenting dan begitu menggembirakan adalah saat menuliskan semua perasaan dan fikiran dengan penuh luapan emosi kemarah, kesedihan, kebahagian dan pertanyaan-pertanyaan akan rahasia hidup. Tidak seperti kebanyakan akun blog lain, saya lebih senang menuliskan pengalaman dan rasa dalam kehidupan.

Isinya bukan isu yang sedang hangat diperbincangkan. Saya tidak mampu menganalisa dengan tajam issu yang terjadi, sukar dirasa dan dicari pemecahannya, itu yang saya rasa ketika memikirkan berita-berita yang disajikan media sehingga kata yang ingin terucap menjadi begitu sukar dikeluarkan

Ini mungkin yang saya pahami akan sebuah nasehat dulu, nasehat seseorang yang begitu saya kagumi, sosoknya sampai sekarang menjadi kiblat bagi saya untuk terus memompa semangat mengejar semua impian itu. Dahulu di inbox e-mail saya masih tersimpan rapih balasan akan kegelisahan hati, sosok itu memberi saya sebuah kekuatan untuk terus berjuang dan semangat meraih mimpi, caranya adalah dengan terus berlatih, dengan berlatih maka akan muncul jalur tulisan yang menjadi keunggulan diri. Tidak mesti semua jalur ditempuh, pada saatnya melalui berlatih akan menemukan gaya tulisan yang tepat.

Dan kini, ketika saya terus tersadar merasakan setiap irama nafas perjalanan hidup, mengerti bahwa inilah jalan yang dulu dinasehatkan kepada saya, inilah langkah pasti yang saya mampu melangkah dengan mantap dan lebar. Bukan lagi penghargaan dan pengakuan orang lain yang menjadi kepuasan batin ini, rangkaian kalimat yang tercipta memberi kepuasan tersendiri di dalam hati.

Apa yang saya kerjakan bukan lagi demi sebuah pengakuan prestasi dari orang lain, yang terpenting adalah apa yang saya torehkan menjadi kekuatan dan kepuasan tiada tara. Rasa ini yang meringankan saya untuk bertahan di jalan yang kadang penuh kerikil dan duri

Jumat, 12 Februari 2010

Penyakit hati...

Awalnya begitu sulit menerima kenyataan ini, yang satu belum usai, kini datang lagi kabar yang membuat cemburu dihati. Lagi-lagi, saya harus menjernihkan hati, tidak mudah, namun jalan tunggal yang harus saya terima adalah mengobati luka hati yang masih begitu segar.

Obsesi intinya. Mengapa hidup menjadi begitu sulit diusia ini, mengapa semuanya menjadi tidak mudah, cemburu dan iri menjadi perkara yang sangat sukar untuk diatur. Saya tidak bisa menolak perkenalan dengan mereka, nyatanya sejauh ini, pertemuan itu yang membawa pada satu keadaan hati yang sangat buruk

Membangun kembali pun tidak akan serapih dahulu. Rasa dan fikiran yang semraut ini hanya akan membawa pada satu kedurhakaan besar kepada sang kuasa. Meratapi dan mempertanyakan di lisan dan di doa

Hati sering kali berkata menghibur diri, mengeluarkan berbagai kata bijak dan penyegar batin untuk mendapatkan oase itu. Meski tidak segera dapat memadamkan api dengki, cukup membantu mengurangi kobaran, selanjutnya perasaan baiklah yang terus memberi dorongan dan semangat bagi diri untuk tetap berjalan pada poros yang telah digariskan. Menjernihkan hati dengan segela penyakitnya yang mengotori

Inilah rupanya ujian saya, ujian menghadapi diri sendiri, jatuh bangun perasaan dan memungutnya kembali untuk diletakkan di tempat semula. Agar hidup bisa dinikmati, saya harus berjuang menekan semua perasaan itu. Berhenti menoleh dan menangis karena insan lain, berdiri di kaki ini untuk berjalan di dunia yang saya bangun.

Tidak akan ada habisnya jika terus menuruti iri hati, jalan bijak yang bisa diambil adalah terus berjalan di kehidupan yang saya terima saat ini. Menghadapi dan mengatasi semua onak duri, rasanya itu akan jauh lebih membawa saya pada hidup yang indah

Uang itu...

Tidak tahu mengapa, saya ingin menulis tentang ini, tidak ada maksud dan tujuan yang pasti, hanya, ingin menyenandungkan rasa dan apa yang saya fikir. Mulanya tidak menyadari begitu mendalam. Kesadaran muncul ketika selesai mengkhatamkan film yang baru saya sewa.

Setelah dilihat dan dirasa, ternyata memang benar. Sebenarnya uang itu benda apa, mengapa menjadi begitu kuat. Orang miskin, kelaparan karena uang, orang mengemis, ngamen, setres karena uang, korupsi, bermewah-mewahan, semua karena uang. Sakit hati, iri dan dengki juka karena uang.

Melihat keadaan ini rasanya hati menjadi kasihan, hidup seperti apa yang bisa berjalan dengan kesemrautan yang ditimbulkan uang. Kemarin, di kereta, selama perjalanan Bekasi-Jogja, tidak ada yang mengatakan dengan terang bahwa uang yang mereka tuju.

Si buta, si burukrupa, si dekil, si tua dan si badan keker kusam, semua berteriak menawarkan barang dagangannya, mondar-mandir sampai puluhan kali tiap gerbong hanya ingin mencari uang, mengapa uang memegang semua kendali untuk meraba hidup? Lagi-lagi mengapa karena uang?!! Si miskin hidup dengan menderita dan Si kaya bergaya dengan kemubazirannya


Di sisi lain, di sebrang kereta yang saya tumpangi. Dibalik kaca dan gorden kereta, Si kaya dan si wangi itu, mengapa juga dengan uang menunjukkan status mereka. Mengenakan segala atribut yang dibeli agar dilihat.

Karena uang, beberapa banyak orang berubah menjadi setan, melanggar akal sehat dan budi pekerti demi mendapat benda kertas itu. Hanya demi lembaran kertas??!! mengapa uang menjadi begitu menakutkan??

Tidak habis untuk terus difikirkan, akhirnya, hanya individu yang bisa menyaring segala permasalahan yang tak pernah usai. Menyalahkan uang juga tiada guna. Mau berteriak dan marah-marah, si kertas hanya bisa bungkam.

Ketidakadilan muncul karena uang, kerakusan menyetir orang untuk mendapatkan uang. Begitu menyilaukankah uang??

Rabu, 03 Februari 2010

Finally...

I’m worry with my decision, when try to writing something in my blog an English, I can’t to speaking, reading, or conversation whit English language well. But, I know that practice it’s a good way to improve my English. So, although I shy when some people who more better read my blog, may be they are will be laugh or say.. “It’s false, wrong, wrong again, again and again, more and more they are finding a wrong the words.

And than they are thinking that I’m person to weak conversations I really know about that’s risk, but in another side I also know, when somebody never try, they aren’t catch up they dream. We will never know our false when nothing people say it. Absolutely I’m jealous to my friends, and people who can speak English well.

It’s become main things, burden is, and another thing why I really want to about, that English language is important skill to my job in the future. From along while become my priority, can speak English well.

And today, though it was late, I got up make sure to my self that need a big support to still run in the street. Jealous is one way to grow up my spirit. After everything happen to me, the case point is everybody who become success today is they are person whit a big thinking and a big effort to get them.

Finally, I can do unusual…

Rabu, 27 Januari 2010

Do'a itu...

Untaian doa yang terucap dari orang tua, kini menjadi tanggungjawab yang harus saya emban. Dengan tegas dan dari dalam hati, terlontar harapan terbalut doa. Terucap saat kebersamaan dan kehangatan kumpul keluarga kecil malam ini. Bersama kakek, sampai larut malam, obrolan dengan uji pengetahuan kecil-kecilan untuk adik dan sepupu saya berujung pada gelak canda dan aroma penuh kasih.

Rupanya, selang beberapa lama kami berbincang, harapan pada anak keduanya ini tidak jua luput, entah dari mana mulanya, ketika dirasa, topic pembicaraan kami semakin meluas, sampai pada satu kesempatan dimana doa dan harapan orang tua terpanjat untuk saya. Doa agar kelak saya hidup menjadi orang sukses, orang yang berilmu dan bermanfaat dilafalkan dengan tatap penuh kekhusyuan kepada saya.

Sedih, ternyata keinginan agar saya menjadi orang berhasil tertanam jauh di lubuk hati kedua orang tua, hanya, saya kurang menyadari keinginan itu, sebagai anak, tidak jarang saya lalai untuk belajar, malas untuk berkarya, mengeluh dan hanya menuntut untuk meminta

Malam ini, bukan lagi sudut pandang arogansi yang berbicara, dulu, saya memandang keinginan dan doa orang tua sebagai hal biasa yang tidak perlu diperhatikan, saya berfikir menyusun hari depan dengan tanpa tanggungjawab dan rencana bisa saya lakukan.

Baru sekarang, di malam ini, saya mengerti bahwa hidup tidak bisa berjalan tanpa satu tujuaan yang pasti, apa yang akan terjadi tidak bisa di pasrahkan pada angin dan waktu yang membawa, kita butuh perencanaan.

Dalam hati saya berteriak, menangis dan terus berkecamuk. Selama ini, telah banyak waktu yang saya lalaikan, saya terus mengulur sambil bersantai, berpangku tangan padahal disaat yang sama, ribuan tetes air mata terus memenuhi setiap doa dan keinginan orang tua, disepanjang malam beliau meminta

Meski, doa itu tidak terucap dengan nada keras sebagai penekanan, namun pandangan mata hati ini, saya mampu melihat bahwa ucapan dan tatapan itu, sungguh penuh pengharapan.

Jangan khawatir mih, sekuat tenaga akan selalu saya tempuh setiap onak duri untuk mencapai semua impian, hanya satu yang terus saya pinta, jangan lepaskan pandangan itu, pandangan yang mampu memberi semangat dan ketetapan hati untuk saya terus meraih mimpi

Jumat, 15 Januari 2010

Orang tua menjadi kekuatan terbesar saya...

Untuk pertama kalinya, selepas rasa iri menghantui fikiran dan perasaan saya, hati kembali berbunga-bunga, melepas semua sesak hati, iri dan kerinduan akan adam. Bukan karena dihadiahkan sesuatu yang saya irikan, bukan juga karena menemukan seseorang yang menghapus air mata ini.

Entah darimana datangnya, laksana angin yang berlalu, menghampiri, menerpa dan mengusap hati yang keruh menjadi begitu indah. Begitu lembut, membisikkan kata dan nasehat indah yang sangat mujarab. Bisikan tanpa kata-kata, tanpa suara, seketika, tiba-tiba, hati menjadi begitu tenang, berhasil menghapus semua kegelisahan. Kondisi hati yang sangat berlawanan dari apa yang selama ini saya rasa.

Keajaiban rasa itu membuat saya berfikir bahwa tidak penting lagi untuk mengeluh dan menangis. Yang dibutuhkan hanya sebuah senyum, senyum bebas dan penuh kepuasan hati, bukan hanya dibibir, tapi seluruh hati, jiwa dan raga saya berteriak kegirangan. Kegundaan yang selama ini saya rasa, hilang tidak tertinggal. Lantas apa sebenarnya yang membuat saya begitu bergembira? Alasannya sangat sederhana, beberapa hari lagi, orang-orang yang saya cinta dan kagumi akan saya jumpai.

Keluarga sederhana tanpa harta melimpah, tanpa jabatan status social yang tinggi. Ternyata begitu membuat saya bergembira hanya dengan mengingatnya. Orang tua, kakak dan adik yang begitu sempurna, selalu melengkapi apa yang saya butuhkan, bukan dengan hartanya, bukan pula dengan jumlah nominal rupiah yang dikirim, tapi karena kehangatan yang diberi

Kehangatan ini yang selalu membuat saya rindu untuk bercengkrama secara langsung dengan orang-orang yang saya cinta, mereka yang selalu membuat saya tertawa dan sedih karena bahagia, tidak ada cacat dan celah yang begitu berarti. Kesakitan hati yang sering timbul karena kesalahpahaman di keluarga, tidak pernah berujung pada luka yang begitu mendalam.

Sakit hati karena dilarang dan dibantah orang tua, tidak lantas menjadi duri yang berakar. Adanya hanya untuk mempermanis dan mendewasakan saya. Ini membedakan kesetiaan keluarga dengan mereka yang menamakan diri menjadi sahabat, tidak ada sahabat yang setia, selalu akan muncul sisi mementingkan diri sendiri. Saya tidak akan menyinggung masalah kesetiaan seorang teman, bagi saya itu hanya pemanis hidup yang menguji hati dan perasaan untuk lebih kokoh, tidak ada satu hubungan yang seindah dan seimbang, seperti hubungan anggota keluarga keluarga.

Sabtu, 09 Januari 2010

Need Someone...

Saya menjadi keropos tanpa ada dinding kokoh melindungi. Air mata yang jatuh tanpa diminta rasanya menjengkelkan sekali, bukan maksud untuk memamerkan hati yang sedang sedih, hanya, jika bisa ditahan, tidak akan saya biarkan air mata ini jatuh menyetujui kegundaan yang sedang saya rasa. Membiarkannya hanya ketika hati sudah tidak mampu menahannya, memikulnya sendiri kemudian terasa berat, menghimpit dan membuat saya sesak, saat itulah butiran air mata tidak bisa ditahan.

Hidup dan segala isinya tidak pernah bisa dilepas dari dua mata sisi yang berbeda, dari dulu sampai sekarang saya percaya bahwa hidup selalu ada pasangannya, ada kemudahan, ada kesulitan,

Ketika yang datang kesusahan, terkadang dia mampu membuat saya terjatuh, membuat saya menjadi sedih dan memaksa seluruh fikiran untuk mencari penawar hati. Saya yang dahulu selalu mencari jalan keluar dengan egoisnya, angkuh mendongakkan kepala, menyatakan saya mampu berdiri dan bertahan menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain. Kini sikap idealisme yang dulu saya kagumi mulai luntur, idealisme yang mengajarkan saya untuk mampu menata hati dan menghadapi masalah tanpa bantuan seorang adam

Tenggelam oleh waktu tidak lagi bergerak sekencang dulu, nyatanya saya tidak bisa bertahan lebih lama untuk berdiri sendiri, tidak bisa terus menerus menyingkirkan kerikil, memungutnya satu persatu, sendiri, saya tidak mampu lagi.

Ada proses alam yang sedang saya jalani, rasa ingin berbagi dan mendengar untaian nasehat dari seseorang. Dan ketika rasa ini datang, semuanya semakin terasa berat, setiap masalah kian tidak mampu saya urai, mencari solusi rasanya mustahil ketika perasaan saya menstimulasi otak dan hati bahwa saya butuh seseorang. Memberi semangat hanya dengan sapu tangannya yang mampu menghapus air mata ini. I need someone..

Senin, 04 Januari 2010

Ketika tahun baru datang....

Hari ini semua orang tumpah ruah ke jalan, meramainkan alun-alun, tempat-tempat yang menjadi langganan diadakannya perayaan tahun baru. Kamis sore, daerah malioboro dan perempatan kantor pos Yogyakarta sudah padat merayap. Semua orang seraya berkumpul, memadati pusat peluncuran kembang api.

Harapan dan keinginan di panjatkan ribuan orang, menutup tahun yang lalu, beranjak ke tahun baru. Resolusi kedepan mulai di torehkan. Apa yang ingin dikerjakan dan apa yang ingin di capai, semua menjadi panjatan doa bersama semu umat

Di tengah keramaian suara dan lampu kembang api, wanita ini, yang sedang belajar untuk tumbuh menjadi dewasa, sibuk dengan lamunannya, memanjatkan resolusi rasanya tidak bergairah, rupaya wanita ini masih iri.

Energi dan harapan yang biasanya meluap-luap kini sedang layu, tersiram bahan kimia yang bernama iri. Tidak ada satu harapan yang dipanjatkan wanita ini, baginya harapan dan keinginannya masih sama. Menjadi wanita penuh energi untuk merenggut semua impiannya. Impian yang jika dibayangkan membuat merinding semua orang yang mendengar.

Sorak soray menyambut tahun baru tidak menjadi begitu penting, keinginan kuat akan pencapaian mimpi wanita ini menjadikannya antipati untuk bersorak menyambut tahun baru, yang terpenting bukan perayaan tahun baru

Bagi wanita ini, rasanya menjadi berat ketika tahun baru datang di saat tahun yang lama belum menjadi sempurna, banyak target yang belum tersampai, dan ketika tahuh baru datang, hati ini menjadi kerdil.

Ketika waktu beranjak ke tahun baru, waktu semakin menggecil, kesempatan terus meruncing, menuntut agar mimpi segera tercapai. Lantas, mengapa orang menjadi gembira padahal waktu semakin menua. Padahal tekanan untuk segera mencapai mimpi semakin menekan.