Laman

Rabu, 28 September 2011

Ini Sentilan Kecil Tuhan...

Sebagian orang mengatakan bahwa kegagalan adalah kemenangan yang tertunda, bagi saya gagal berarti telah hilang satu kesempatan, gagal ya gagal, tidak ada kemenangan, yang ada hanya berharap akan ada keberuntungan lain.  

Tidak ada yang saya takuti dari gagal, mereka ada untuk memberi pelajaran, menjadi matang setelah gagal. Menjadi kuat dan lebih cermat setelah gagal.

Dikesempatan kemarin mungkin saya tidak berhasil karena tidak mampu mempresentasikan diri dengan baik. Dongkol dengan penguji? buat apa?? Ia tidak salah, yang salah adalah saya. Ada yang kurang, ada hal-hal yang harus dimatangkan kembali. Benar status teman saya mengatakan bahwa untuk tidak membiarkan pergi impian caranya adalah dengan menjadi smart, be sharp, be brave and be your self. Inilah komponen yang harus saya kuasai kembali. 

Selama ini mungkin saya terlalu nyaman dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya punya, padahal perkembangan ilmu terus bergerak. Selama ini mungkin saya terlalu percaya diri telah menjadi pribadi yang memiliki pemikiran kritis padahal tidak. Selama ini mungkin saya mengira bahwa saya telah menjadi orang yang berani, namun saya salah, itu hanya emosi sesaat yang tidak pantas dikatakan keberanian. Selama ini mungkin saya sering meremehkan kemampuan orang lain dengan selalu berfikir “be your self” padahal saat saya berkata demikian, teman-teman saya telah jauh berlari meraih cita.

Kegagalan telah memperlihatkan kepada saya bahwa selama ini saya salah, bukan alam dengan semua pemberiannya yang salah, tetapi manusia yang kerap kali sombong. Jika dikatakan bahwa kadar keimanan seseorang seringkali naik turun begitupun dengan kadar kekuatan semangat, kadang meningkat kadangkala menurun. Hanya, beruntunglah saya memiliki Tuhan yang selalu mengingatkan dengan sentilan-sentilanNya.

Rahmat dan hikmah selalu ada di setiap celah perkara yang nampak tidak ada faedahnya. Jika tidak didunia maka diakhirat akan ada yang dituai. Saya mempercayai itu.

"Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan…. ?!"

Rabu, 14 September 2011

Sekufu atau tidak sekufu?

Get Married 3, sebuah film komedi yang disutradarai Hanung Bramantyo akhirnya saya tonton juga. Selain melihat iklan promonya di acara musik, film ini menjadi film rujukan dari beberapa teman. Lumayan buat bikin ketawa. 

Bagi saya pribadi, get married 3 kurang begitu kocak dibanding film sebelumnya. Ceritanya hanya membahas masalah suami istri yang baru punya anak. Mae mengalami baby blues dan ketiga teman  mae mulai mengalami pergerakan karir yang  unik.

Pesan yang ingin diangkat adalah mengenai ikatan keluarga, bahwa betapapun permasalahanya, keluarga merupakan pelabuhan satu-satunya dari semua kegiatan dunia.


Secara keseluruhan, lika-liku konflik yang ditampilkan film ini normal-normal saja, biasa-biasa saja, tidak terlalu banyak menguras emosi, yang menarik dan menjadi konsentrasi pribadi saya adalah bahwa pasangan pernikahan seperti mae dan rendy terbilang langka. Dalam hidup yang mengajarkan manusia untuk memandang kelas dan kasta sosial, akan sulit bagi seorang mae (dalam kehidupan nyata) mendapat pria seperti rendy yang kaya lagi terpelajar. Kalau tidak benar-benar nekat  cowonya. Hal ini diikuti dengan banyaknya penasehat yang mengajarkan untuk mencari pasangan yang sekufu. Baik dalam tingkatan ekonomi dan juga masalah pendidikan. Tujuannya untuk menghindari kesenjangan pandang yang begitu mencolok, kelak. 
Berbagai tulisan memuat tanggapan dari para pakar bergelar M.Si, Psi, MA, S.Ag mengenai betapa berpengaruhnya sekufu bagi pria dan wanita dalam berumah tangga. Berjauhan kadar pengetahuan dan pengalaman akan sulit mempersatukan kesamaan berfikir, ujungnya salah satu pihak mungkin akan merasa tidak dipahami pemikirannya oleh pasangan, ini yang dikhawatirkan dapat menjadi pemicu tidak berjalan harmoni sebuah keluarga. 
Muncul anggapan dari obrolan ala-ala kantin dan warung lesehan, kalau anak pengusaha pasti mudah mendapat pasangan yang cantik atau ganteng. Kalau anak cendikia pasti pasangannya turunan priai, kaya dan berpendidikan. Tentu ini hanya sekedar anggapan ringan tanpa teori yang pasti, namun setidaknya inilah yang terbenak di fikiran beberapa orang dalam memaknai arti sekufu. Lantas perlukah ini diyakini?? Mari lihat keadaan yang ditunjukkan alam.
Kehidupan dengan berjuta kisah yang disajikan, aneh dan kadang suka tidak sampai dilogika, memberi sejuta jawab dengan sebuah fakta. Wanita dewasa lulusan S1 menikah dengan pria lulusan SD, benar-benar ada dan terjadi. Jawaban dari keanehan ini terlontar “saya dan suami selama ini tidak mengalami kendala komunikasi yang cukup berarti, untuk saling mengerti, kami sama-sama banyak membaca buku”. Ada lagi seorang wanita nan hebat, berpendidikan tinggi, sering bepergian ke luar negeri guna berdiskusi dengan orang-orang pintar, menikah dengan pria biasa ber-profesi  guru. Jomplang memang, tapi inilah sedikit kisah yang ada.  

Kisah ini tentu tergantung individu. Bagi saya pribadi, akan tidak mungkin seseorang menentukan sikap tanpa ada argumentasi sebelumnya. Apa pun itu, masing-masing berhak menentukan jalan dan cara apa yang digunakan untuk mengambil sebuah keputusan. Termasuk berhak menentukan standar kualitas bagi pasangan.

Senin, 05 September 2011

Tanpa Judul, hanya untuk kawan...

Satu pesan masuk ke inbox hanphone saya, malam ini, dari seorang kawan semasa kuliah, menanyakan kabar dan menyampaikan maksud mengirimkan pesan. Beberapa kali kami saling berbalas singkat, mengingat kembali masa-masa bersama di Jogja dulu, yaitu waktu dimana tanggungjwab masih setengah, waktu dimana pemikiran masih cenderung poya-poya, waktu dimana masih menghabiskan uang tanpa berpikir panjang, waktu dimana perjuangan hidup sesungguhnya masih belum terlalu berasa. Dan kini, waktu mulai berjalan memisahkan kami, membuat jarak semakin jauh, membuat kenangan semakin panjang untuk diceritakan.

Padahal kami baru di awal perjuangan. Saya memang lebih dulu meninggalkan Jogja, itu pun belum terlalu lama, baru sekitar 3 bulan berlalu, dan teman saya, masih di Jogja untuk menunggu perayaan wisuda. Namun rasanya, sudah teramat lama kami berpisah. Segala komentar dan pandangan kami kala itu, hari ini, disaat kami mulai menjauh satu sama lain karena keadaan, malah mendekatkan kami pada keakraban, saling mengirim pesan dan telephone. Topic pembicaraan kami masih gaya lampau hanya focus kami yang kini mulai berubah.

Cara pandang dan pola menejemen hidup juga mulai menunjukkan tingkatan yang lebih serius. Dengan beberapa teman yang dekat, kami saling berbagi planning kedepan, saling menceritakan keinginan. Ada yang berkeinginan membuka usaha, ada yang sedang mencoba menjadi dewasa, ada yang berjalan santai menyelesaikan kuliah namun memiliki target yang sangat terukur. Kepada mereka, saya banyak belajar dan bercerita

Nasib kami memang tidak serupa, tapi kami satu dalam keakraban, saling melengkapi dan menyuburkan mimpi satu sama lain. Kepadanya, Endah Kusumaningrum, saya belajar akan pribadi yang memiliki tujuan namun tetap menikmati masa mudanya. Kepada Citra Paramita, saya belajar akan pribadi yang anggun nan penuh kedewasaan. Kepada Nur Sofyan, saya belajar arti cendekia dalam hidup, memberikan banyak pencerahan dikala langkah mulai gontai.

Ketiganya adalah kawan yang sangat special di hati ini, seorang teman yang memiliki kecakapan akademik namun juga baik dalam menyikapi segala hal termasuk cita masa depan. Di perpustakaan, di lobby, kami sering berbincang mengenai banyak hal, mulai dari topic remeh temeh sampai saling mengutarakan pendapat. Kadang serius, kadang tertawa. Mizz u all….