Laman

Rabu, 27 Januari 2010

Do'a itu...

Untaian doa yang terucap dari orang tua, kini menjadi tanggungjawab yang harus saya emban. Dengan tegas dan dari dalam hati, terlontar harapan terbalut doa. Terucap saat kebersamaan dan kehangatan kumpul keluarga kecil malam ini. Bersama kakek, sampai larut malam, obrolan dengan uji pengetahuan kecil-kecilan untuk adik dan sepupu saya berujung pada gelak canda dan aroma penuh kasih.

Rupanya, selang beberapa lama kami berbincang, harapan pada anak keduanya ini tidak jua luput, entah dari mana mulanya, ketika dirasa, topic pembicaraan kami semakin meluas, sampai pada satu kesempatan dimana doa dan harapan orang tua terpanjat untuk saya. Doa agar kelak saya hidup menjadi orang sukses, orang yang berilmu dan bermanfaat dilafalkan dengan tatap penuh kekhusyuan kepada saya.

Sedih, ternyata keinginan agar saya menjadi orang berhasil tertanam jauh di lubuk hati kedua orang tua, hanya, saya kurang menyadari keinginan itu, sebagai anak, tidak jarang saya lalai untuk belajar, malas untuk berkarya, mengeluh dan hanya menuntut untuk meminta

Malam ini, bukan lagi sudut pandang arogansi yang berbicara, dulu, saya memandang keinginan dan doa orang tua sebagai hal biasa yang tidak perlu diperhatikan, saya berfikir menyusun hari depan dengan tanpa tanggungjawab dan rencana bisa saya lakukan.

Baru sekarang, di malam ini, saya mengerti bahwa hidup tidak bisa berjalan tanpa satu tujuaan yang pasti, apa yang akan terjadi tidak bisa di pasrahkan pada angin dan waktu yang membawa, kita butuh perencanaan.

Dalam hati saya berteriak, menangis dan terus berkecamuk. Selama ini, telah banyak waktu yang saya lalaikan, saya terus mengulur sambil bersantai, berpangku tangan padahal disaat yang sama, ribuan tetes air mata terus memenuhi setiap doa dan keinginan orang tua, disepanjang malam beliau meminta

Meski, doa itu tidak terucap dengan nada keras sebagai penekanan, namun pandangan mata hati ini, saya mampu melihat bahwa ucapan dan tatapan itu, sungguh penuh pengharapan.

Jangan khawatir mih, sekuat tenaga akan selalu saya tempuh setiap onak duri untuk mencapai semua impian, hanya satu yang terus saya pinta, jangan lepaskan pandangan itu, pandangan yang mampu memberi semangat dan ketetapan hati untuk saya terus meraih mimpi

Jumat, 15 Januari 2010

Orang tua menjadi kekuatan terbesar saya...

Untuk pertama kalinya, selepas rasa iri menghantui fikiran dan perasaan saya, hati kembali berbunga-bunga, melepas semua sesak hati, iri dan kerinduan akan adam. Bukan karena dihadiahkan sesuatu yang saya irikan, bukan juga karena menemukan seseorang yang menghapus air mata ini.

Entah darimana datangnya, laksana angin yang berlalu, menghampiri, menerpa dan mengusap hati yang keruh menjadi begitu indah. Begitu lembut, membisikkan kata dan nasehat indah yang sangat mujarab. Bisikan tanpa kata-kata, tanpa suara, seketika, tiba-tiba, hati menjadi begitu tenang, berhasil menghapus semua kegelisahan. Kondisi hati yang sangat berlawanan dari apa yang selama ini saya rasa.

Keajaiban rasa itu membuat saya berfikir bahwa tidak penting lagi untuk mengeluh dan menangis. Yang dibutuhkan hanya sebuah senyum, senyum bebas dan penuh kepuasan hati, bukan hanya dibibir, tapi seluruh hati, jiwa dan raga saya berteriak kegirangan. Kegundaan yang selama ini saya rasa, hilang tidak tertinggal. Lantas apa sebenarnya yang membuat saya begitu bergembira? Alasannya sangat sederhana, beberapa hari lagi, orang-orang yang saya cinta dan kagumi akan saya jumpai.

Keluarga sederhana tanpa harta melimpah, tanpa jabatan status social yang tinggi. Ternyata begitu membuat saya bergembira hanya dengan mengingatnya. Orang tua, kakak dan adik yang begitu sempurna, selalu melengkapi apa yang saya butuhkan, bukan dengan hartanya, bukan pula dengan jumlah nominal rupiah yang dikirim, tapi karena kehangatan yang diberi

Kehangatan ini yang selalu membuat saya rindu untuk bercengkrama secara langsung dengan orang-orang yang saya cinta, mereka yang selalu membuat saya tertawa dan sedih karena bahagia, tidak ada cacat dan celah yang begitu berarti. Kesakitan hati yang sering timbul karena kesalahpahaman di keluarga, tidak pernah berujung pada luka yang begitu mendalam.

Sakit hati karena dilarang dan dibantah orang tua, tidak lantas menjadi duri yang berakar. Adanya hanya untuk mempermanis dan mendewasakan saya. Ini membedakan kesetiaan keluarga dengan mereka yang menamakan diri menjadi sahabat, tidak ada sahabat yang setia, selalu akan muncul sisi mementingkan diri sendiri. Saya tidak akan menyinggung masalah kesetiaan seorang teman, bagi saya itu hanya pemanis hidup yang menguji hati dan perasaan untuk lebih kokoh, tidak ada satu hubungan yang seindah dan seimbang, seperti hubungan anggota keluarga keluarga.

Sabtu, 09 Januari 2010

Need Someone...

Saya menjadi keropos tanpa ada dinding kokoh melindungi. Air mata yang jatuh tanpa diminta rasanya menjengkelkan sekali, bukan maksud untuk memamerkan hati yang sedang sedih, hanya, jika bisa ditahan, tidak akan saya biarkan air mata ini jatuh menyetujui kegundaan yang sedang saya rasa. Membiarkannya hanya ketika hati sudah tidak mampu menahannya, memikulnya sendiri kemudian terasa berat, menghimpit dan membuat saya sesak, saat itulah butiran air mata tidak bisa ditahan.

Hidup dan segala isinya tidak pernah bisa dilepas dari dua mata sisi yang berbeda, dari dulu sampai sekarang saya percaya bahwa hidup selalu ada pasangannya, ada kemudahan, ada kesulitan,

Ketika yang datang kesusahan, terkadang dia mampu membuat saya terjatuh, membuat saya menjadi sedih dan memaksa seluruh fikiran untuk mencari penawar hati. Saya yang dahulu selalu mencari jalan keluar dengan egoisnya, angkuh mendongakkan kepala, menyatakan saya mampu berdiri dan bertahan menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain. Kini sikap idealisme yang dulu saya kagumi mulai luntur, idealisme yang mengajarkan saya untuk mampu menata hati dan menghadapi masalah tanpa bantuan seorang adam

Tenggelam oleh waktu tidak lagi bergerak sekencang dulu, nyatanya saya tidak bisa bertahan lebih lama untuk berdiri sendiri, tidak bisa terus menerus menyingkirkan kerikil, memungutnya satu persatu, sendiri, saya tidak mampu lagi.

Ada proses alam yang sedang saya jalani, rasa ingin berbagi dan mendengar untaian nasehat dari seseorang. Dan ketika rasa ini datang, semuanya semakin terasa berat, setiap masalah kian tidak mampu saya urai, mencari solusi rasanya mustahil ketika perasaan saya menstimulasi otak dan hati bahwa saya butuh seseorang. Memberi semangat hanya dengan sapu tangannya yang mampu menghapus air mata ini. I need someone..

Senin, 04 Januari 2010

Ketika tahun baru datang....

Hari ini semua orang tumpah ruah ke jalan, meramainkan alun-alun, tempat-tempat yang menjadi langganan diadakannya perayaan tahun baru. Kamis sore, daerah malioboro dan perempatan kantor pos Yogyakarta sudah padat merayap. Semua orang seraya berkumpul, memadati pusat peluncuran kembang api.

Harapan dan keinginan di panjatkan ribuan orang, menutup tahun yang lalu, beranjak ke tahun baru. Resolusi kedepan mulai di torehkan. Apa yang ingin dikerjakan dan apa yang ingin di capai, semua menjadi panjatan doa bersama semu umat

Di tengah keramaian suara dan lampu kembang api, wanita ini, yang sedang belajar untuk tumbuh menjadi dewasa, sibuk dengan lamunannya, memanjatkan resolusi rasanya tidak bergairah, rupaya wanita ini masih iri.

Energi dan harapan yang biasanya meluap-luap kini sedang layu, tersiram bahan kimia yang bernama iri. Tidak ada satu harapan yang dipanjatkan wanita ini, baginya harapan dan keinginannya masih sama. Menjadi wanita penuh energi untuk merenggut semua impiannya. Impian yang jika dibayangkan membuat merinding semua orang yang mendengar.

Sorak soray menyambut tahun baru tidak menjadi begitu penting, keinginan kuat akan pencapaian mimpi wanita ini menjadikannya antipati untuk bersorak menyambut tahun baru, yang terpenting bukan perayaan tahun baru

Bagi wanita ini, rasanya menjadi berat ketika tahun baru datang di saat tahun yang lama belum menjadi sempurna, banyak target yang belum tersampai, dan ketika tahuh baru datang, hati ini menjadi kerdil.

Ketika waktu beranjak ke tahun baru, waktu semakin menggecil, kesempatan terus meruncing, menuntut agar mimpi segera tercapai. Lantas, mengapa orang menjadi gembira padahal waktu semakin menua. Padahal tekanan untuk segera mencapai mimpi semakin menekan.