Setiap anak
memiliki kematangan intelektual yang berbeda. Sudah banyak penelitian yang
mengatakan bahwa nilai sekolah yang tinggi tidak memiliki pengaruh besar
terhadap kesuksesan anak dimasa yang akan datang.
Namun, hal
diatas tidak lantas menjadi alibi untuk para orang tua dan guru untuk tidak
mengusahana agar anak mendapat nilai yang bagus di kelas. Untuk itu pakar
pendidikan mengatakan bahwa anak dapat menyerap pelajaran yang diberikan jika
cara ajar sesuai dengan karakteristik anak, apakah visual, audio atau
kinestetik.
Masing-masing
anak memiliki keriteria yang berbeda. Beda kriteria, maka beda pula cara
mengajarnya.
Anak-anak yang
memiliki kecenderungan visual maka akan lebih mudah menangkap pelajaran dengan
gambar dan catatan.
Anak-anak yang
audio lebih efektif diberikan pengajaran dengan cara diajak mendengar. Misal,
belajar dengan menggunakan lagu-lagu. Sedangkan anak yang cenderung kinestetik, maka
ajak ia bergerak. Belajar sambil bermain.
Lantas, apakah
teori ini benar adanya secara praktek?
Saya katakan, pada
sebagian anak, iya. Sebagian lain, tidak.
Maksudnya adalah
pada satu kasus yang saya pelajari (anak kinestetik) ketika saya ajak belajar
sambil bergerak (bemain tangkap bola) ia mampu mengingat hanya dalam kapasitas
dua kata, ketika ditambah menjadi empat kata ia sedikit kesusahan untuk
mengingat.
Artinya,
ketika kita menggunakan metode belajar yang disesuaikan dengan karakter anak,
namun kematangan intelektualnya belum muncul, maka akan sulit untuk memasukkan
pengetahuan kepadanya. Anak-anak yang memiliki daya ingat pendek, serta
konsentrasi yang pendek memiliki kemungkinan kurang efektif jika terus dipaksa
untuk belajar.
Yang kurang
tepat adalah, kerap orang tua dan sebagian guru, menyarankan anaknya untuk
kursus berhitung jika dirasa kurang dalam hitung-hitungannya. Dianjurkan untuk
mengambil kursus bahasa inggris jika dirasa kurang bahasa inggrisnya. Tanpa
melihat sebetulnya, si anak ini kemampuannya dimana? apakah di pelajaran atau
malah di bidang-bidang yang mengasah skill. Seperti musik, sepakbola, atau
renang.
Untuk itu,
saya pribadi. Kerap menyarankan kepada orang tua murid saya untuk tidak terlalu
stress jika anaknya mendapat nilai yang kurang memuaskan ketika ujian. Bahkan
saya tidak menyarankan untuk menyibukkan anak dengan berbagai kursus yang
kiranya bukan kesukaan anak.
Salah satu
murid saya mendapat nilai yang kurang baik dalam pelajaran math. Waktu itu bab
addition dan subtraction. Padahal ia ikut les berhitung. Saya Tanya “mengapa
nilainya kurang bagus, kan sudah ikut les”. Lantas anak itu jawab “aah.. males miss.. aku capek.. disuruh mamah les
terus, istirahatnya cuma sebentar”. Analisa saya adalah bahwa anak tidak enjoy
mengikuti kursus itu, atau mungkin ia memiliki pilihan sendiri kursus apa yang
ia inginkan.
Alangkah baiknya jika orang tua dan guru
membebaskan anak untuk memilih apa yang ia inginkan. Dengan begitu maka kita
akan menjadi lebih mudah untuk meminta pertanggungjawaban anak jika suatu saat
ia malas “itu kan keinginan adek, maka adek tidak boleh malas”.
Dukung dan
arahkan anak mencapai apa yang ia cita-citakan. Bukan memaksakan apa yang
menjadi standar keinginan orang tua.
Profesor saya
pernah bercerita bagaimana ia sampai merubah nama anaknya ketika si anak
bercita-cita menjadi presiden. Anak ini selalu bilang ke semua orang yang ia
temui, bahwa ia ingin menjadi presiden. Bahkan ia sempat membantah kakeknya.
Suatu hari
ketika berkunjung ke rumah kakek, ketika hendak pulang, sang kakek mencium sang
cucu sambil berucap “kakek doakan, nanti besar kamu menjadi arsitek” si anak
langsung menolak “gk mau, aku ingin jadi presiden kek”. Melihat kegigihan anak
ini. Professor sampai mengganti nama anaknya menjadi lebih kejawaan di akta
kelahiran dan kartu keluarga.
Apakah
professor itu lebay? Saya kira tidak. Inilah yang benar.
Jika kita
memaksakan anak untuk belajar berhitung terus menerus, sedangkan bakat dan
keinginannya adalah di musik. Maka kita telah menyianyiakan waktu anak, tenaga
anak, dan uang untuk hal yang mungkin tidak terpakai ketika ia besar.