Apa itu kepemimpinan?
Dimasa kerajaan Yunani
dan Romawi, muncul pemahaman mengenai teori “great man” dimana teori ini
mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan,
bukan dibuat.
Prof. Siswoyo Haryono
dalam “Manajemen Sumber Daya manusia untuk manajer” mengatakan bahwa konsep
great man dilihat dari pengertian dasar mengarah pada suatu fungsi kualitas seorang individu, bukan fungsi situasi, teknologi
atau dukungan masyarakat.
Definisi ini membawa
saya pada ilustrasi seorang penyanyi.
Suara enak itu adalah pemberian
Tuhan, tidak semua orang memiliki. Tetapi ada penyanyi-penyanyi yang suaranya
tidak berciri tetapi lagu-lagunya laris. Sebagai contoh, Bunga Citra Lestari.
Saya sedikit mengikuti
karir bernyanyinya.
Di awal-awal, seringkali
suara BCL ketika bernyanyi live tidak semerdu dan sehalus rekamannya. Lambat
laun, mungkin ia terus berlatih dan belajar. Mulai ada perubahan di suaranya,
terutama ketika live, sudah tidak berantakan lagi.
Dari sini saya berfikir
bahwa, Tuhan masih membuka kesempatan pada semua manusia untuk menjadi
pemimpin, namun siapa yang benar-benar meningkatkan kemampuan dirinya, itulah
yang dipilih. Ini yang kemudian dianalisa oleh para teoritis sifat, mengenai
pertanyaan apa yang menyebabkan
pemimpin-pemimpin lebih baik dari pada yang lainnya?
Keith Davis (dalam
Manajemen SDM) menyebutkan ada 4 ciri-ciri pemimpin yang dapat membawa situasi
yang baik bagi perusahaan, yaitu; intelligence, social maturity and breadth,
motivasi diri dan dorongan prestasi, sikap-sikap hubungan manusiawai.
Dari empat ini, saya
tertarik menyoroti point ke-empat (hubungan manusiawi) dimana pemimpin yang
baik juga harus memperhatikan harga diri dan martabat bawahan. Prof. Jasper J
van der Klooter dalam International Aspects of Management berkisah mengenai
sebuah peculiar habit disebuah
perusahaan dimana seorang staff yang memiliki ide berilian tidak dihargai. Sekonyong-konyong
ia mengatakan bahwa ia mempunyai gagasan tanpa menyebutkan bahwa ide dasarnya adalah
dari orang lain.
“When
one of his staffmembers had an idea to improve quality, he was normally kicked
out of the boss office never heard such stupid remaks. A couple of days later
he informed his staff, that he was having a brilliant idea, not mentioning that
it was stolen from somebody else”
Kasus Prof.Jasper
memang masuk ranah pembahasan etika. Tetapi saya setuju jika hal ini harus
dibahas juga di sikap kepemimpinan.
Hubungan hangat antara
atasan dan bawahan, terciptanya situasi kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan
(consideration dimension) memberi kontribusi pada keberhasilan organisasi.
Memang secara strktural
kedekatan dan keakraban memiliki tingkatan sendiri sesuai garis strktural. Namun,
saya fikir lini yang terdekat dengan regular employees inilah yang harus faham
mengenai consideration dimension. Jika di sekolah, maka kepala sekolah lah.
Tiap organisasi akan
meminta perhatian yang berbeda.
Inti dari consideration
dimension, menurut saya adalah bagaimana pemimpin dapat membangun komunikasi
dengan bawahan. Sudah baik kah, sudah ada keterbukaan kah, atau masih ada
gusuk-gusuk dibawah akibat saluran komunikasi yang tidak jalan?!
Saluran mana yang tersumbat,
apakah pemimpin yang terlihat kaku, sehingga bawahan takut menyampaikan ide dan
perasaan, atau adanya gap antara bawahan dan atasan, adanya keakraban yang tidak merata antara pimpinan
dengan karyawan yang satu dan lainnya.
Mengapa bisa sampai
takut?
Bisa jadi karena adanya
pengalaman tidak mengenakkan ketika berkomunikasi dengan pimpinan. Baik itu berupa
kata-kata, ekspresi dan gesture. Ingat..! bahwa bahasa non-verbal memiliki
pengaruh kuat terhadap kelancaran komunikasi.
Ada sebuah kejadian
yang saya fikir cocok untuk menjadi
contoh penjelasan diatas.
Seorang karyawan datang
keatasan untuk tujuan tertentu, kemudia dia utarakan maksud dan tujuannya dengan
harapan meski tidak mendapat solusi
setidaknya diberi motivasi, alih-alih mendapat masukan, sang pemimpin bersikap
acuh sambil melontarkan kata “suruh siapa..!”
Akhir dari kisah ini
adalah, muncul satu keengganan di kalangan karyawan untuk berkomunikasi dengan
pimpinan, dan yang fatal, fikir saya, karena karyawan enggan terbuka, sedangkan
pihak perusahaan pun tetap butuh informasi mengenai karyawan, maka muncul lah “mata-mata”
yang diciptakan pemimpin.
Kalau sudah begini,
bukan lagi tersumbat jalur komunikasinya tetapi sudah terputus..!
Lantas apa yang harus
dilakukan sekarang?
Putus bukan berarti
kiamat. Jika sudah terputus, sambung lagi..! pasti ada solusi. Tugas kita semua
lah untuk memperbaiki. Karena tiap-tiap lini saling mempengaruhi satu sama
lain.
“Pemimpin
mempengaruhi kelompok dan situasi. Kelompok mempengaruhi pemimpin dan situasi. Situasi
mempengarhi pemimpin dan kelompok”
Wallahu’alam
Selamat
introspeksi diri masing-masing.
Listening to blowin’ in the wind – by vazques (cover)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar